Lebih jauh, dari prasangka penularan LGBT kepada orang lain, muncul pula persepsi bahwa LGBT juga berbahaya karena menjadi penyebar virus HIV/AIDS. Menanggapi pandangan ini, pengamat sosial, Wisnu Adihartono, berpendapat bahwa hal tersebut adalah isu lama, yang terutama berkembang ketika seorang bintang film Amerika, Rock Hudson, yang gay, meninggal karena HIV/AIDS.
"Berita ini menyebar ke seluruh dunia. Berita yang mengatakan bahwa LGBT, terutama kaum gay, adalah komunitas yang membawa penyakit HIV/AIDS. Sejak itu, ada banyak stereotip negatif, penilaian, dan salah tafsir terhadap homoseksual di seluruh dunia, termasuk di Indonesia," tuturnya.
"Tapi sekarang, kita dapat melihat bahwa HIV/AIDS saat ini dapat ditularkan dari berbagai sumber. Jadi, perlu diketahui bahwa LGBT bukan satu-satunya kelompok yang bisa menularkan virus," tambah Wisnu.
Sebuah penelitian dari Gayle dan Hill, tahun 2001, juga telah mengungkapkan bahwa berdasarkan riset yang dilakukan, diketahui bahwa heteroseksual dan Injection Drug Users (IDU) merupakan penyebab utama penularan HIV/AIDS di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ini setidaknya memberi bukti bahwa LGBT tidak bisa diidentikkan dengan HIV/AIDS.
Lantas, bagaimana dengan kondisi atau perkembangan masalah LGBT di negara-negara lainnya, terutama yang dekat dengan Indonesia? Jika merujuk pada kasus di Singapura, tampaknya tidak terlalu berbeda jauh, meskipun di beberapa bagian juga terdapat perbedaan.
Leow Yangfa (41), pekerja sosial dan Direktur Eksekutif Oogachaga, sebuah lembaga berbasis masyarakat yang memberi dukungan dan bekerja dengan LGBT, termasuk individu, pasangan dan keluarga di Singapura, sejak tahun 1999, memberikan sedikit gambaran. Yangfa mengatakan bahwa di Singapura, perilaku hubungan sesama jenis antara laki-laki dewasa secara private diatur di bawah bagian 377A KUHP.
Namun demikian menurutnya, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, mengatakan bahwa hal itu tidak akan proaktif diberlakukan. Dia juga menilai keberadaan aturan itu dapat diartikan bahwa hal tersebut menciptakan sebuah lingkungan di mana homophobia dan transphobia dilembagakan.
"Contohnya, organisasi LGBT tidak diperbolehkan untuk didaftarkan, karena mereka dianggap 'menyimpang dari kepentingan nasional,'" tutur Yangfa. "Pedoman Media di Singapura juga melarang penggambaran positif dari orang LGBT dan gaya hidupnya dengan cara yang positif," tambahnya.
Hal terakhir ini seakan mirip dengan yang terjadi belakangan di Indonesia, ketika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyerukan kepada stasiun-stasiun televisi agar semua tayangan yang mempromosikan LGBT dihentikan atas dasar kekhawatiran hal itu akan mempengaruhi pemikiran anak-anak.
Dari keterangan Yangfa juga diketahui bahwa para guru sekolah di Singapura dan konselor di sekolah pemerintah pun tidak diberdayakan untuk menangani intimidasi homophobic dan transphobic siswa. Lebih jauh menurutnya, siswa LGBT di Singapura yang berada di sekolah pemerintah, pun tidak mempunyai akses untuk informasi akurat tentang kesehatan seksual dan seks.
Lantas, bagaimana pula pandangan Yangfa tentang perkembangan dan isu LGBT di Indonesia? Ketika dilontarkan pertanyaan itu, Yangfa hanya menjawab singkat, "No comment!" [Lisa Leonard]
Pembelaan dari Sisi HAM hingga Wacana Perundang-undangan
Arsito Hidayatullah Suara.Com
Selasa, 08 Maret 2016 | 17:03 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Trending di X, Kubu RK-Suswono Ungkap Pesan Prabowo buat Tepis Tudingan Pro LGBT
26 November 2024 | 17:58 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI