Kuasa hukum PT Grand Indonesia (GI), Juniver Girsang membantah terjadinya tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam pelaksanaan built, operate, and transfer (BOT). Menurut dia, kerjasama antara pihak Hotel Indonesia Natour (HIN) dan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI)-PT Grand Indonesia (GI) yang dimulai pada 2004 itu telah melalui serangkaian proses formal yang sah dan transparan, serta dituangkan dalam perjanjian BOT yang ditandatangani oleh para pihak.
“Tudingan bahwa pelaksanaan BOT ini merugikan negara Rp1,2 triliun akibat pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski tidak benar. Justru, HIN diuntungkan secara komersial karena tidak kehilangan kompensasi yang lebih besar dengan adanya dua bangunan tersebut,” tegas Juniver dalam pernyataan resmi di Jakarta, Minggu (6/3/2016).
Ditegaskan Juniver, HIN juga diuntungkan karena nilai bangunan yang diserahkan pada akhir masa BOT nanti (tahun 2055) akan jauh lebih besar dari nilai seharusnya. Tanpa menambah masa konsesi penerima hak BOT dan tidak mengurangi besarnya kompensasi tahunan yang diterima HIN.
“Kerjasama ini justru merupakan wujud kemitraan strategis antara BUMN dan swasta yang didasari oleh itikad baik dan tidak merugikan keuangan negara,” terang dia.
Juniver menjelaskan, setelah dilakukan proses tender yang terbuka dan transparan pada 2004, diterbitkanlah persetujuan dari Menteri BUMN (saat itu) Laksamana Sukardi melalui Surat Nomor. S-247/MBU/2004 tanggal 11 Mei 2004 beserta lampirannya, perihal Persetujuan Perjanjian Kerjasama antara PT. HIN dan CKBI. Surat persetujuan inilah yang menjadi dasar bagi perjanjian BOT.
Dia melanjutkan, pengalihan pemegang BOT dari CKBI ke Grand Indonesia pun tidak dilakukan secara sepihak, karena merujuk pada surat persetujuan Menteri BUMN dan perjanjian BOT itu sendiri.
"Dalam perjanjian BOT disebutkan bahwa penerima hak BOT adalah Grand Indonesia dan/atau pihak-pihak lain yang ditunjuk secara tertulis oleh Grand Indonesia dan/atau penerusnya yang telah disetujui oleh HIN baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri," kata Juniver.
Terkait pembangunan gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski yang dianggap melanggar hukum karena tidak tercantum dalam perjanjian dan berpotensi merugikan keuangan negara, Juniver menjelaskan, anggapan itu keliru. Pasalnya, gedung perkantoran dan apartemen itu termasuk dalam kategori bangunan-bangunan lainnya seperti tercantum dalam perjanjian BOT itu sendiri.
"Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa gedung dan fasilitas penunjang adalah bangunan-bangunan dan segala fasilitas pendukung yang wajib dibangun dan/atau direnovasi penerima hak BOT di atas tanah, yaitu antara lain, pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan-bangunan lainnya, berikut fasilitas parkir serta fasilitas penunjang lainnya," papar Juniver.
Juniver juga menegaskan, sampai saat ini, Grand Indonesia tidak pernah menjaminkan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) atas nama HIN ke lembaga keuangan manapun untuk memperoleh pendanaan, karena sertifikat HPL itu berada dalam penguasaan HIN.