Konflik yang berkepanjangan antara Masyarakat Rohingya dengan masyarakat Rhakine telah memakan korban, sedikitnya 6000 nyawa melayang. Etnis Rohingya sebagai kelompok minoritas menjadi korban dari tindakan konflik kekerasan yang luar biasa itu. Bukan hanya pembunuhan massal atau genocida (Pembasmian) tetapi juga masyarakat Rohingya mengalami pengusiran untuk keluar dari bumi Myanmar. Setidaknya sekitar 800.000 etnis Rohingya mencari suaka politik ke negara lain khususnya ke negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Filipina dan Malaysia.
Pengamat hubungan internasional, Muhammad Jusrianto mengatakan, tindakan diskriminasi, kekerasan, pembantaian, pembunuhan, pembasmian massal (genocida) dan pengusiran yang terjadi pada etnis Rohingya, mutlak tindakan pelanggaran HAM berat. Tragedi Rohingya menjadi bukti nyata bahwa masyarakat Rhakine yang terlibat langsung sebagai pelaku serta mendapat sokongan dari militer dan pemerintah Myanmar, telah mengabaikan sisi kemanusiaan.
"Menjadi tuntutan bagi Indonesia mengambil peran besar untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa etnis Rohingya. Keterlibatan Indonesia didasarkan atas semangat kemanusiaan sebagaimana mandat Pancasila dan UUD 1945," kata Jusrianto di Jakarta, Senin (29/2/2016).
Menurut alumnus Universitas Muhammadiyah Malang itu, Indonesia dalam melibatkan diri harus tetap menghormati dan mematuhi hasil konsensus negara-negara ASEAN, yaitu non intervention prinsiple. Artinya, ASEAN termasuk anggota-anggotanya tidak boleh melakukan intervensi terhadap masalah internal yang dihadapi oleh salah satu negara anggota.
Keterlibatan aktif Indonesia dalam kasus ini, harus menggunakan pendekatan-pendekatan efektif dan efisien yang tidak bertolakbelakang dengan prinsip non-intervensi. Setidaknya tiga hal yang mesti diperhatikan.
Pertama, Multi-Track Diplomacy. Kata dia, Indonesia melakukan kerjasama dengan NGO untuk menyuarakan nasib masyarakat Rohingya di Myanmar maupun terlibat membantu etnis Rohingya yang berada di negara-negara lain.
Kedua, Diplomacy Bilateral.Indonesia melakukan diplomasi politik dalam bingkai nilai-nilai kemanusian. Dalam artian, etnis Rohingya butuh diperlakukan sebagai manusia seperti halnya masyarakat Myammar lainnya.
Dan ketiga, ASEAN Institution Instrument. Indonesia menjadikan institusi ASEAN sebagai instrumen untuk melakukan konsolidasi dengan negara-negara ASEAN. Konsolidasi ditujukan untuk mendorong pemerintahan Myanmar secepatnya menyelesaikan permasalahan Rohingya secara utuh.
Tiga hal itu, menurut Jusrianto, dilakukan supaya Myanmar dapat menyelesaikan masalah Rohingya mulai dari akar-akarnya, seperti mencabut isi dari Burma Citizenship Lawyang terbit pada 1982 yang berbunyi, “warga etnis Rohingya dinyatakan sebagai non-national atau bukan warga negara.”
"Selain pemerintah Myanmar mengakui etnis Rohingya diakui sebagai warga negara sah Myanmar, dan juga wajib menggaransikan rasa aman dan damai kepada masyarakat Rohingya secara legal standing," tutup Jusrianto.