Suara.com - Kasus anggota Satuan Intelkam Polres Melawi, Kalimantan Barat, Brigadir Petrus Bakus, membunuh dan memutilasi dua anak kandungnya yang masih di bawah umur, Fabian (4) dan Amora (3), di Asrama Polres Melawi, Gang Darul Falah, makin menunjukkan persoalan serius di lapisan bawah kepolisian. Yakni persoalan kejiwaan. Sayangnya, kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane, elite-elite Polri masih kurang serius menanganinya.
"IPW sangat prihatin dengan kasus mutilasi yang melibatkan polisi ini. Memang kita tidak bisa menggenalisir kasus ini. Tapi kasus ini bisa dilihat sebagai teori gunung es bahwa yang terpendam di dalam dinamika kehidupan lapisan bawah kepolisian ada persoalan kejiwaan yang perlu segera dicermati dan diatasi para elite di Mabes Polri," kata Neta dalam pernyataan tertulis kepada Suara.com, Minggu (28/2/2016).
Sebab, katanya, kasus mutilasi ini hanya bagian kecil dari sejumlah kasus sadis yang dilakukan para polisi lapisan bawah sejak beberapa tahun terakhir.
Berbagai kasus sadis yang dilakukan polisi lapisan bawah Polri mulai dari kasus salah tangkap, menyiksa tersangka, membunuh sesama polisi, membunuh pacar, membunuh istri, menembak atasan, polisi bunuh diri, dan terakhir memutilasi anak sendiri.
Tingginya tingkat kesadisan yang dilakukan para polisi itu dari tahun ke tahun dinilai menunjukkan betapa lemahnya proses rekrutmen di Polri. Seakan psikotes dalam rekrutmen itu tidak mampu menyaring figur-figur yang bermasalah. Sehingga dari tahun ke tahun polri selalu dihadapkan pada ulah polisi-polisi berwatak sadis yang jauh dari misi Polri yang ingin melayani, mengayomi, dan melindungi.
Kasus-kasus ini, katanya, tentu tak bisa didiamkan. Polri harus memperketat sistem rekrutnya dan meningkatkan pengawasan yang ketat kepada jajaran bawahnya agar perilaku sadis tidak berkembang pesat di jajaran kepolisian.
"Prioritas Polri adalah membenahi sistem rekrutnya. Isu bayar-membayar masuk polisi harus benar-benar diatasi agar orang-orang bermasalah tidak lolos menjadi polisi," kata Neta.
Dikatakan, psikotes masuk polisi harus profesional sehingga orang-orang yang bermasalah dengan kejiwaan tidak lolos menjadi polisi. Masa waktu pendidikan yang selama ini lima bulan harus diperpanjang menjadi satu tahun agar Polri benar-benar mendapatkan calon-calon polisi terbaik.
Terakhir, polisi-polisi yang bermasalah harus segera dikonseling dan mengikuti terapi psikologis agar tidak menjadi predator di masyarakat.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti angkat bicara mengenai kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap dua bocah itu.
"Menurut penjelasan istrinya (Windri) kemungkinan kerasukan," kata Haiti di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (26/2/2016).
Berdasarkan keterangan yang diberikan kepada penyidik, Petrus melakukan tindakan tersebut karena dorongan makhluk ghaib.
"Anaknya dibunuh katanya untuk persembahan," kata Kapolri.
Setelah menghabisi Fabian dan Amora, Petrus berniat membunuh istrinya juga. Untungnya, Windri punya akal untuk menyelamatkan diri.
"Rencananya istrinya juga akan dihabisi. Tetapi istrinya menyampaikan bahwa sebelum saya kamu bunuh, saya minta diambilkan minum air putih, lalu diambilkan dan dia lari ke luar sehingga dibantu oleh masyarakat," kata Kapolri.