Anak Jadi Korban Pedofilia karena Pendidikan Seks Dianggap Tabu

Minggu, 21 Februari 2016 | 14:54 WIB
Anak Jadi Korban Pedofilia karena Pendidikan Seks Dianggap Tabu
Suasana diskusi di sebuah kafe kawasan Pasar Festival, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (21/2/2016). (suara.com/Erick Tanjung)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pendidikan seksual terhadap anak-anak sangat minim, bahkan masih dianggap tabu di tengah masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi salah satu faktor anak-anak jadi sasaran dan korban eksploitasi pedofilia.

Koordinator Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), Agung Sedayu mengatakan setiap anak memiliki hak tumbuh kembang yang baik, termasuk dalam hal pendidikan seksual. Namun pendidikan seksual yang baik terhadap anak masih menjadi barang langka di negeri ini.

"Keluarga, lingkungan, bahkan sekolah masih menjadikan seksual sebagai barang tabu untuk dibicarakan. Itu sebabnya anak secara diam-diam mencari tahu sendiri melalui berbagai sarana dan pergaulan di luar pengawasan orang tua," kata Agung dalam diskusi di sebuah kafe kawasan Pasar Festival, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (21/2/2016).

Padahal, lanjut dia, teknologi informasi dan kemudahan akses internet sudah sangat maju‎. Anak-anak saat ini sangat mudah mengakses internet dengan bebas..

"Akibatnya, anak yang belum paham konsekuensi aktivitas seksual yang mereka lakukan itu menjadi rentan terperosok dalam pergaulan seksual bebas bahkan menjadi korban eksploitasi seksual orang dewasa," ujar Agung.

Dia menjelaskan, beberapa waktu lalu masyarakat dihebohkan dengan munculnya akun‎ Twitter @GayKids_botplg ‎yang memasang, memamerkan foto serta pelajar SMP dan SMA secara fulgar dan menyebut mereka sebagai anak-anak gay. Akun Twitter ini salah satu contoh bentuk eksploitasi seksual terhadap anak.

"‎Perbuatan eksploitasi seksual, pedagangan anak, dan praktik fedofilia jelas sebuah kejahatan serius. Polisi harus tegas menindak dan menghukum siapapun pelakunya," tegas dia.

Sementara itu, sikap intoleran, eksklusi dan diskriminasi membuat kelompok minoritas LGBT dalam posisi yang rumit. Masyarakat dengan modal stigma negatif cenderung sembrono mengaitkan keberadaan minoritas LGBT sebagai tersangka utama fedofilia atau predator pemburu anak-anak.

"Padahal kejahatan seksual terhadap anak bisa dilakukan oleh siapa saja," jelas Agung.

Kebencian dan sikap mendiskriminasi kelompok minoritas LGBT jelas bukan soslusi untuk menekan angka korban perilaku menyimpang pedofilia atau mengakhiri eksploitasi seksual pada anak.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI