Nur Kholis juga menjelaskan dampak kekerasan seksual. Dampaknya tak hanya pada kehancuran fisik, tetapi juga psikis, seksual, dan relasi sosial korban. Bahkan, keluarga dan komunitas korban pun ikut kena dampak.
"Mayoritas korban yang adalah perempuan dalam usia sekolah, juga terampas haknya untuk melanjutkan pendidikan,” ujar Nur Kholis.
Program pemerintah yang sudah berjalan dalam melindungi kelompok rentan kekerasan seksual, di antaranya pembentukan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di kepolisian dan pemberian layanan kesehatan bagi korban yang datang ke institusi kesehatan.
Namun, program tersebut dinilai belum memadai. Misalnya, untuk program UPPA, sejauh ini belum merata di semua kantor polisi. Selain itu, kapasitas aparat penegak hukum juga masih kurang karena belum memahami kasus kekerasan seksual sebagai kekerasan berbasis gender.
“Saat ini belum ada upaya pemerintah atau negara untuk menyediakan layanan lainnya yang dibutuhkan korban, seperti penyediaan hukum acara khusus bagi penanganan kasus kekerasan seksual untuk mencegah reviktimasi korban dalam proses peradilan pidana,” katanya.
"Institusi kesehatan juga masih mengenakan biaya kepada korban yang mengakses layanan kesehatan, dan belum meratanya layanan kesehatan yang dibutuhkan korban kekerasan seksual, pencegahan IMS dan HIV/AIDS juga termasuk sebagai alasan tingginya angka korban dan juga korban segan melapor pada pihak berwajib," katanya.
Ketika ditanyakan mengenai pandangan Komnas HAM tentang Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, Nur Kholis mengatakan UU itu sangat penting untuk melengkapi KUHP maupun UU lainnya yang tidak merinci tentang kasus perkosaan dan pelecehan seksual.
“Tadi juga sudah disampaikan tentang UUD kebiri ini pada tanggal 15 Februari lalu. Kami sudah melakukan release terkait pandangan Komnas HAM terhadap hukum kebiri, kami melihat pentingnya hak-hak terutama perlindungan fisik dan mental sang pelaku terkait, terutama hak hidup.” ujar Nur Kholis.
Dalam rapat di DPD, Nurkholis juga menekankan pentingnya pencegahan kejahatan seksual.
“Kita tidak boleh terlalu reaksional tanpa melihat aspek-aspek atau alasan-alasan lain mengapa sang pelaku melakukan perbuatannya tersebut,” katanya.