Koordinator Sub Komisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, mengungkapkan problematikan penerapan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap pelaku kekerasan seksual dengan pemberatan hukuman berupa suntik kebiri.
Sandryayati mengatakan hukuman kebiri bukan jaminan pelaku tak mengulangi perbuatannya.
"Siapa jamin setelah pelaku keluar penjara dan obat kimia itu hilang, dia tidak berbuat kejahatan lagi. Kalau di dalam penjara kan justru pelaku aman, dia pasti tidak akan berbuat jahat. Tapi setelah keluar penjara itu siapa yang bisa memonitor, itu yang sulit dari sisi teknis dalam hukuman kebiri tersebut," kata Sandra di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (15/2/2016)
Dari sisi medis, kata Sandra, dalam setiap tindakan medis, semua pasien harus menyetujui tindakan medis yang akan dilakukan kepadanya.
"Nah putusan pengadilan itu bisa tidak jadi rujukan untuk tindakan medis (kebiri) tersebut. Dokter umumnya tidak akan mau melakukan tindakan medis yang berasal dari putusan hukuman. Lagi pula dokter juga terikat kode etik bahwa dia tidak bisa sembarangan mengambil tindakan medis tanpa persetujuan pasien," kata dia.
Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila, setuju kalau hukuman ini tak akan membuat pelaku jera.
"Bahwa dengan dilakukan hukuman kebiri akan menurunkan kejahatan seksual, itu baru asumsi. Belum bisa disebutkan hal itu efektif sebagai cara untuk menurunkan angka kekerasan seksual terhadap anak," kata Laila.
Menurut dia hukum kebiri sifatnya hanya temporer. Ketika efek obat hilang, pelaku akan pulih lagi seperti biasa.
"Dari Komnas HAM rekomendasi utama adalah bagaimana melakukan pencegahan ke depan. Dan upaya pendidikan baik pada anak-anak maupun orang-orang terdekatnya perlu dilakukan," ujar dia.