Salah satu poin Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang masuk daftar revisi DPR adalah pembentukan Dewan Pengawas.
Ketua Transparansi Internasional Indonesia Natalia Subagyo mengaku kaget dengan rencana tersebut. Soalnya, kata dia, selama ini yang mengawasi KPK sudah banyak, termasuk DPR, Presiden, dan masyarakat.
"Kalau untuk pemilihan pimpinan KPK saja begitu lama, sangat dalam, maka nanti harus cari dewan pengawas yang lebih tinggi dari itu. Saya tidak tahu bagaimana caranya, kalau pimpinan KPK setengah dewa berarti cari dewan pengawas yang dewa dong," kata Natalia di Puri Imperium, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (11/2/2016).
KPK, kata Natalia, sudah menjadi lembaga tinggi negara yang tidak perlu diawasi badan khusus lagi.
"Mau cari pengawasan yang lebih tinggi bagaimana lagi, mau cari yang di atas Presiden dan DPR," katanya.
Mantan anggota Tim Sembilan tersebut sepakat dengan pendapat pengajar Sekolah Hukum Jentera, Bivitri Susanti. Keinginan DPR membentuk Dewan Pengawas KPK dinilai sangat mengacaukan. Karena KPK masuk dalam sistem peradilan, maka yang berhak untuk mengawasinya pengadilan.
"Bukan Dewan Pengawas karena dewan pengawas tidak masuk dalam lingkup sistem peradilan, dan dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan wewenang," kata Bivitri.
Tiga poin UU KPK yang masuk daftar revisi lainnya adalah kewenanagan KPK untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, kewenangan mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri, dan terkait penyadapan.
Presiden Joko Widodo kembali menegaskan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK harus untuk memperkuat kewenangan lembaga antirasuah, bukan sebaliknya.
"Perlu saya sampaikan bahwa revisi UU KPK harus memperkuat KPK," kata Jokowi ketika melakukan kunjungan kerja ke proyek pembangunan jalan tol Trans Sumatera, Lampung.
Hari ini, DPR menunda rapat paripurna dengan agenda menetapkan revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR.
"Nggak ada hari ini. Disepakati pada minggu depan (Kamis)," kata Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas di gedung DPR.
"Paripurna revisi UU KPK harusnya hari ini dibentuk, tapi karena dinamika begitu tinggi, termasuk banyak yang melakukan penolakan. Akhirnya supaya komprehensif, kami tunda pembahasan panjanya," Supratman menambahkan.
Ketua Transparansi Internasional Indonesia Natalia Subagyo mengaku kaget dengan rencana tersebut. Soalnya, kata dia, selama ini yang mengawasi KPK sudah banyak, termasuk DPR, Presiden, dan masyarakat.
"Kalau untuk pemilihan pimpinan KPK saja begitu lama, sangat dalam, maka nanti harus cari dewan pengawas yang lebih tinggi dari itu. Saya tidak tahu bagaimana caranya, kalau pimpinan KPK setengah dewa berarti cari dewan pengawas yang dewa dong," kata Natalia di Puri Imperium, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (11/2/2016).
KPK, kata Natalia, sudah menjadi lembaga tinggi negara yang tidak perlu diawasi badan khusus lagi.
"Mau cari pengawasan yang lebih tinggi bagaimana lagi, mau cari yang di atas Presiden dan DPR," katanya.
Mantan anggota Tim Sembilan tersebut sepakat dengan pendapat pengajar Sekolah Hukum Jentera, Bivitri Susanti. Keinginan DPR membentuk Dewan Pengawas KPK dinilai sangat mengacaukan. Karena KPK masuk dalam sistem peradilan, maka yang berhak untuk mengawasinya pengadilan.
"Bukan Dewan Pengawas karena dewan pengawas tidak masuk dalam lingkup sistem peradilan, dan dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan wewenang," kata Bivitri.
Tiga poin UU KPK yang masuk daftar revisi lainnya adalah kewenanagan KPK untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, kewenangan mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri, dan terkait penyadapan.
Presiden Joko Widodo kembali menegaskan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK harus untuk memperkuat kewenangan lembaga antirasuah, bukan sebaliknya.
"Perlu saya sampaikan bahwa revisi UU KPK harus memperkuat KPK," kata Jokowi ketika melakukan kunjungan kerja ke proyek pembangunan jalan tol Trans Sumatera, Lampung.
Hari ini, DPR menunda rapat paripurna dengan agenda menetapkan revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR.
"Nggak ada hari ini. Disepakati pada minggu depan (Kamis)," kata Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas di gedung DPR.
"Paripurna revisi UU KPK harusnya hari ini dibentuk, tapi karena dinamika begitu tinggi, termasuk banyak yang melakukan penolakan. Akhirnya supaya komprehensif, kami tunda pembahasan panjanya," Supratman menambahkan.