Suara.com - Sejumlah tokoh hukum memberikan dukungan kepada KPK terkait rencana revisi UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Kami tadi datang untuk menyampaikan dukungan soal revisi UU KPK karena KPK merupakan anak kandung dari reformasi yang menjadi tumpuan kita sebagai masyarakat. KPK tidak boleh sedikit pun melemah dan kami banyak melihat upaya pelemahan setiap tahun dilakukan oleh banyak pihak," kata pegiat antikorupsi Todung Mulya Lubis di gedung KPK Jakarta, Selasa.
Menurut Todung, karena indeks persepsi korupsi Indonesia masih rendah, maka revisi UU KPK bahkan tidak perlu dibicarakan.
"Kalau persepsi korupsi kita sudah mencapai 50 ke atas kita boleh bicara soal revisi UU KPK. Saat ini KPK harus tetap dilengkapi dengan kewenangan penyadapan, tidak boleh mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), boleh mengangkat penyidik sendiri sesuai kewenangan yang sudah diberikan UU. Kalau itu dipreteli, digerogoti, KPK akan lumpuh dan korupsi akan menang. Kami sebagai pegiat antikorupsi siap mendukung KPK dan mengapresiasi sikap pimpinan KPK yang menolak revisi UU KPK dan minta kepada Presiden Jokowi untuk bersikap tegas menolak revisi UU KPK," tambah Todung.
Menurut Todung, Presiden Jokowi dapat menyatakan ketidaksetujuannya kepada revisi UU KPK dengan tidak ikut berpartisipasi dalam pembahasan revisi UU KPK.
"Saya sih tidak mengatakan bahwa perlu ada revisi UU KPK dalam konteks korupsi masih sistemik, endemik, dan merajalela. DPR kan tugasnya membuat legislasi untuk melakukan perubahan, tapi DPR tidak bisa bermain-main dalam konteks pemberantasan korupsi. Ini kan komitmen reformasi juga komitmen kita sebagai bangsa. Tidak boleh DPR sama sekali menggunakan haknya untuk melemahkan KPK," tegas Todung.
Sedangkan pakar hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan bahwa KPK harus terus didukung sebagai lembaga.
"KPK sebagai lembaga yang secara moril terus didukung karena merupakan lembaga, yang kita harapkan mampu berantas korupsi," kata Refly.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra yang ikut memberikan dukungan juga menegaskan bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk merevisi UU KPK.
"Ini bukan waktu yg tepat merevisi UU KPK, kenapa? Karena sentimen di DPR negatif sekali. Jadi walaupun mereka mengatakan merevisi itu untuk menguatkan, buktinya mana yang menguatkan? Misalnya, mereka ingin mendorong SP3, saya kira tidak relevan lagi bicara SP3 karena sudah ada mekanisme praperadilan. Jadi kalau tidak puas terhadap penanganan perkara yang dilakukan KPK bawa saja ke praperadilan. Menguji di sana," kata Saldi.
Saldi pun mendorong agar Presiden Joko Widodo segera mengambil sikap terhadap revisi UU KPK ini.
"Presiden harus mengambil sikap. Kalau dari substansinya melemahkan KPK, Presiden kan punya hak legislasinya 50 persen. Jadi kalau presiden melihat substansinya melemahkan KPK jangan mengeluarkan surat presiden yang menunjuk menteri untuk membahas bersama DPR mengenai revisi UU itu. Jadi kalau hal itu dilakukan selesai. Tapi kita belum tahu sikap Presiden karena surat resmi dan final draft dari DPR itu belum selesai. Kalau rancangan inisiatif DPR itu melemahkan KPK, maka Presiden harusnya tidak ikut dalam pembahasan RUU KPK," ungkap Saldi.
Ada empat hal yang rencananya akan direvisi oleh DPR yaitu pertama soal penyadapan pada pasal 12A yang menyatakan bahwa penyadapan dapat dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis Dewan Pengawas (ayat 1). Pimpinan KPK meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan (ayat 2), dan penyadapan dilakukan paling lama 3 bulan sejak izin tertulis diterima penyidik dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama (ayat 3).
Kedua soal Dewan Pengawas yang diatur dalam pasal 37 yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenangn KPK, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa ada dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK, melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala dalam 1 tahun dan menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK atau pelanggaran tertentu dalam UU.
Ketiga adalah soal pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK (pada pasal 43 dan 45). Lalu yang keempat, soal wewenang penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh KPK. [Antara]