Suara.com - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menolak alasan HAM di balik isu dan aktivitas LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Ketua KPAI, Asrorun Ni'am Sholeh, menyatakan bahwa HAM seseorang dibatasi dan tidak boleh melanggar HAM orang lain. Dia pun berkesimpulan bahwa gerakan LGBT sangat membahayakan tumbuh kembang anak, karena merupakan perilaku sosial yang menyimpang.
Sebagaimana disampaikan melalui rilisnya, pihak KPAI menyebut bahwa berdasarkan kajian yang disampaikan para ahli, individu LGBT termasuk dalam kelompok Orang dengan Masalah Kesehatan Jiwa (ODMK), yang artinya berpotensi tinggi masuk ke dalam gangguan jiwa. Diyakini bahwa faktor pola asuh dalam keluarga dan lingkungan memiliki pengaruh besar atas perilaku homoseksualitas anak, seperti melihat pornografi, lalu meniru adegan yang dilihat. Materi pornografi sendiri diketahui beredar luas di dunia maya, serta sangat banyak mengekspose hubungan seksual sesama jenis, yang di sisi lain sangat mudah diakses oleh anak-anak karena minimnya pengawasan dari orangtua.
Dalam rilisnya pula, pihak KPAI mendesak para orangtua untuk melindungi anak-anak mereka dari paparan fenomena dan informasi tentang orientasi seksual yang tidak sesuai dengan norma hukum maupun budaya bangsa. Desakan ini disampaikan menyusul maraknya kampanye LGBT belakangan di tengah masyarakat. Dalam hal ini, KPAI disebut memiliki tanggung jawab untuk melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya fenomena itu, yang dapat menyebabkan anak mengalami disorientasi seksual ketika dewasa.
"Kita melihat dari sisi pengasuhan, paham LGBT ini menimbulkan kegelisahan luar biasa pada level keluarga dan masyarakat. Anak sebagai kelompok yang paling rentan belum mampu menyaring informasi yang sesuai dengan perkembangan dirinya, sementara gerakan serta penyebarannya sangat masif terutama di media sosial," kata Kepala Divisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi KPAI, Maria Advianti, usai melakukan diskusi "Perlindungan Anak dari Fenomena dan Informasi Orientasi Seksual" di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat, Selasa (9/2/2016).
Maria menegaskan pengawasan terhadap paparan orientasi seksual yang menyasar kepada anak harus dilakukan secara masif oleh orang tua, keluarga maupun institusi. Langkah segera yang bisa dilakukan antara lain yakni pengawasan penyebaran paham LGBT di dunia siber dan pemantauan terhadap lingkungan pergaulan anak termasuk media sosial dan program televisi. Menurutnya, pergaulan anak di media sosial saat ini sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Banyak anak yang terpapar LGBT melalui media sosial. Sementara, banyak pembawa acara di televisi yang memerankan lelaki yang memerankan perempuan dan sebaliknya.
"Penyebaran perilaku melalui media sosial dan televisi ini sangat meresahkan dan bisa dijadikan sebagai pembenaran terhadap perilaku LGBT di masyarakat. Oleh sebab itu, harus dihentikan," ungkapnya.
Propaganda homoseksual di kalangan anak pun dinilai sudah meresahkan. Salah satu contohnya adalah lewat akun Twitter @gaykids_botplg yang belakangan sudah diberhentikan. Dalam akun tersebut sempat ditampilkan foto dan video seksual yang tidak layak untuk dilihat. Dalam hal ini, pelaku yang menyebarkan dinilai harusnya bisa dijerat dengan pelanggaran pidana (UU Pornografi dan UU Perlindungan Anak).
Lalu, bagaimana jika anak-anak sudah terlanjur memiliki orientasi LGBT? Menurut Maria, KPAI bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Sosial serta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), melakukan rehabilitasi terhadap anak-anak tersebut. KPAI juga bekerja sama dengan sekolah dan masyarakat untuk mengatasi perilaku sosial yang dinilai menyimpang di masyarakat ini.