Puluhan Ribu Anak-anak Jadi Korban Intoleransi Atas Nama Agama

Rabu, 03 Februari 2016 | 17:47 WIB
Puluhan Ribu Anak-anak Jadi Korban Intoleransi Atas Nama Agama
Anggota KPAI Maria Ulfah. (Pebriansyah Ariefana/suara.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkirakan ada puluhan ribu anak-anak se-Indonesia menjadi korban intoleransi atas nama agama dan kelompok. Mereka tidak tahu apa masalahnya, tapi jadi bulan-bulanan diskriminasi.

Komisioner KPAI Maria Ulfah Anshor mengatakan jumlah anak korban intoleransi itu melonjak selama dalam kurun 5 tahun terakhir. Di antara mereka ada anak-anak dari kelompok Syiah, Ahmadiyah, bahkan Gafatar.

 "Jumlahnya dalam 5 tahun terakhir saya tidak catat persis, tapi diperkirakan puluhan ribu. Sebab ini akumulatif," kata Maria saat berbincang dengan suara.com, Rabu (3/2/2016).

Hari ini Maria menerima Tim Advokasi yang menangani kasus pengusiran Jemaat Ahmadiyah di Bangka. Maria mendapatkan data 'mengerikan' soal nasib anak-anak di sana.

"Mereka ketakutan sampai menerima ancaman di sekolahnya dari teman-temannya. Mereka dikatakan, kamu akan disembelih yah 5 Febuari besok," kata Maria.

 Ancaman itu berlatarbelakang desakan pengusiran mereka dari Pemerintah Bangka untuk meninggalkan rumahnya di Kecamatan Srimenanti paling lambat, Jumat besok. Pekan kemarin warga Ahmadiyah di sana didemo dipaksa tidak boleh tinggal di rumahnya karena ajaran yang mereka anut dianggap sesat.

KPAI menjelaskan pengusiran yang dilakuan bupati melanggar konstitusi. "Apapun kepercayaan mereka, mereka itu warga negara sah. Kenapa diusir. Lebih buruknya, korban utama dari diskriminasi itu adalah anak-anak dan perempuan," paparnya.

 Maria pernah menangani khusus anak-anak korban diskriminasi atasnama agama di Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di sana ratusan Jemaat Ahmadiyah hidup dalam ketidakpastian sejak 2006. Mereka tidak mendapatkan KTP.

"Anak-anak di sana tidak sekolah. Karena apa? Orangtuanya didiskriminasi," kata dia.

Menurut Maria, negara harus hadir. Bahkan meteri dan presiden harus bertindak agar intoleransi dan diskriminasi atasnama SARA tidak terulang.

"Ini sudah darurat. Tapi tiap tahun dianggap darurat yah. Sayang sekali. Lebih dari darurat, kasus ini seperti kebakaran. Dipadamkan dan muncul kembali. Begitu seterusnya tak habis-habis," tutup Maria.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI