Suara.com - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, mengatakan bahwa pernyataan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ingin melarang penjualan BBM jenis Premium di Jakarta, tidak berdasar dan terkesan "asbun" alias "asal bunyi".
"Ahok terkesan 'asbun' ketika merencanakan akan melarang penjualan BBM jenis Premium di wilayah DKI Jakarta. Padahal BBM Premium sudah tidak disubsidi pemerintah. Apakah dia tidak mengetahuinya? Dan apa dasarnya dia melarang penjualan premium di Jakarta?" kata Sofyano, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (3/2/2016).
Sofyano menjelaskan, jika Ahok melarang solar subsidi dijual di Jakarta, itu masih tepat, karena solar masih ada muatan subsidi dari pemerintah. Namun dengan ini menurutnya, publik bisa menilai bahwa mantan Bupati Babel tersebut lama-lama semakin "nyinyir" saja, dengan merencanakan kebijakan yang akan membebani rakyat DKI karena akan diharuskan membeli BBM yang lebih mahal dari Premium.
"Langkah Pertamina yang telah menyiapkan beberapa jenis BBM, antara lain Premium, Pertalite, Pertamax, Pertamax Plus dan Pertadex, sudah cukup baik. Pertamina sudah menyiapkan beberapa alternatif BBM, sehingga rakyat bisa memilih. Itu lebih fair dan adil bagi rakyat. Jika Premium dipaksa dihapus oleh Ahok, itu dapat dinilai sebagai jebakan 'batman' terhadap Pertamina, karena pada akhirnya bisa jadi sasaran amuk publik karena Pertamina adalah ujung tombak dalam penyediaan BBM di negeri ini," ungkapnya.
Menurut Sofyano lagi, kalau Ahok anti-subsidi BBM, maka harusnya Gubernur DKI tersebut membuat Perda khusus yang melarang Premium dan solar bersubsidi dipakai oleh pegawai Pemda DKI dan BUMD, serta seluruh kendaraan umum di wilayah DKI. Artinya, armada-armada itu diharuskan menggunakan Pertamax atau Pertalite.
Selain itu, masih menurut Sofyano, jika Premium dianggap menimbulkan polusi dan berbahaya bagi lingkungan, Ahok sebagai Gubernur harusnya bisa membuktikan dengan data, berapa banyak penduduk DKI yang sakit atau rusak paru-parunya atau terkena TBC, karena menghirup gas buang yang berasal dari Premium.
"Premium sudah dipakai puluhan tahun oleh rakyat di negeri ini. Kok pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, belum pernah merilis berbahayanya penggunaan Premium, dan mengapa pemerintah selama ini menjual premium?" ujarnya.
Menurut Sofyano, dalam hal ini Ahok tidak punya data atau hasil survei yang akurat mengenai kesimpulan berbahayanya jika menggunakan Premium. Sehingga pada akhirnya, rencana Ahok melarang Premium beredar di Jakarta pun jadi terkesan "asal bunyi" saja.
"Ahok sebagai Gubernur DKI harusnya dalam merencanakan dan membuat keputusan, serta kebijakan, harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Bukannya asal bicara dan menjadikan perkataannya jadi dasar hukum," kata Sofyano.
Sofyano pun menambahkan, jika Ahok ingin menata pengelolaan transportasi di Jakarta, harusnya dia punya konsep, sekaligus berani membatasi pendaftaran kepemilikan kendaraan. Dengan kata lain, bila perlu jadikan Jakarta tertutup bagi pendaftaran kepemilikan kendaraan baru.
"Tapi sebagai Gubernur DKI, dia pasti mengetahui bahwa lebih dari 50 persen Pendapat Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta bersumber dari Pajak Kendaraan Bermotor. Nah, jika kebijakan ini dia terapkan, publik bisa menguji keseriusan Ahok dalam mengatasi masalah transportasi, kendaraan, dan polusi di Jakarta," katanya. [Antara]