Indonesia Tak Siap Lawan ISIS di Dunia Maya

Siswanto Suara.Com
Senin, 01 Februari 2016 | 23:12 WIB
Indonesia Tak Siap Lawan ISIS di Dunia Maya
Aksi damai tolak ISIS dari Bundaran HI (suara.com/Kurniawan Mas'ud)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dunia cyber telah menjadi medan perang yang paling sulit ditaklukkan pada abad ke 21. Selama beberapa tahun terakhir, Islamic State of Iraq and Syria dan kelompok ekstremis lain memanfaatkan media sosial untuk mengintimidasi, merekrut, dan memperluas pengaruh ke seluruh dunia.

Menurut data pihak berwenang, sebanyak 700 warga negara Indonesia berangkat ke Suriah untuk berjuang bersama ISIS. Jumlah ini belum termasuk warga yang dipengaruhi paham ISIS yang masih berada di Indonesia.

Seorang wakil dari salah satu perusahaan konsultan keamanan di Jakarta menegaskan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh ISIS di media sosial.

“Saat ini, Indonesia menempati peringkat keempat negara dengan jumlah pengguna FB (Facebook) terbanyak dan peringkat kelima di Twitter, apalagi ada ratusan situs ekstremis lain. Tidak ada banyak yang bisa dilakukan pemerintah RI untuk mencegah pengaruh ISIS lewat sosmed,” kata sumber yang tidak mau disebutkan identitasnya itu kepada Suara.com.

Maret 2015 lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika berusaha memblokir 22 situs yang dianggap mengandung konten penggerak paham radikalisme atau simpatisan radikalisme.

Namun, kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak diterima oleh masyarakat Islam. Bahkan, ditentang Ketua Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin. Din berpendapat kalau pemblokiran dilakukan dengan mengaitkan isu radikalisme, hal itu malah bersifat kontraproduktif. Terorisme, katanya, tak bakal lenyap dengan cara-cara memblokir situs online, apalagi dilakukan secara sepihak. Yang terpenting, menurut Din, pemerintah memberikan pemahaman yang baik.

Upaya pemerintah memblokir situs yang dianggap radikal juga memunculkan perdebatan antara kebebasan bersuara dan kebijakan keamanan nasional.

“Ada garis halus yang memisahkan situs terorisme dan situs Islamic yang konservatif dan radikal, tetapi memang tidak mengajak orang melakukan tindakan teror,” kata wakil perusahaan konsultan keamanan.

Akibatnya, pemerintah Indonesia enggan memblokir situs dan akun media sosial yang mencurigakan. Menurut wakil perusahaan konsultan keamanan, membredel situs teroris lebih sulit daripada memblokir situs web yang menodai Islam.

Hal itu dikarenakan karena pemerintah RI tidak mau menyinggung perasaan umat Islam, meskipun ada situs dan akun media sosial yang mampu membahayakan keamanan nasional. (Meg Phillips)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI