Ketika Dua Pakar dan Mantan Hakim Berdebat soal Kasus Mirna

Sabtu, 30 Januari 2016 | 18:10 WIB
Ketika Dua Pakar dan Mantan Hakim Berdebat soal Kasus Mirna
Jessica Kumala Wongso (27) didampingi pengacaranya, Yudi Wibowo Sukinto. [suara.com/Agung Sandy Lesmana]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus "kopi maut" yang menyebabkan Wayan Mirna Salihin meninggal dunia, sudah bergulir hampir sebulan. Masyarakat pun tampaknya terus mengikutinya tahap demi tahap, tak terkecuali para ahli dan praktisi dari berbagai bidang terkait kasus tersebut.

Sehubungan dengan itu, ada hal menarik yang muncul dalam diskusi bertajuk "Mencari Sang Pembunuh" di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (30/1/2016). Untuk diketahui, acara yang diselenggarakan oleh Sindo Trijaya FM ini menghadirkan beberapa narasumber, termasuk di antaranya Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel, mantan hakim Asep Iwan Iriawan, serta ahli Hypnoterapi Dewi P Faeni.

Saat itu, Dewi sempat menyampaikan komentarnya terkait gerak-gerik Jessica Kumala Wongso, yang diketahui belum lama ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Mirna. Dewi mengatakan bahwa ada dugaan Jessica berbohong saat memberikan kesaksian, baik di media maupun kepada penyidik.

"Saya melihatnya seperti itu (Jessica berbohong). Itu dapat kita lihat dari gerak-geriknya. Eye movement-nya sangat cepat. Itu seolah-olah dia mau membangun fakta baru," kata Dewi.

 
Mendengar kesimpulan Dewi, mantan hakim, Asep Iwan Iriawan langsung menanggapinya. Asep menilai bahwa yang perlu diperhatikan dalam sebuah kasus di depan persidangan bukanlah gerak-gerik si tersangka atau terdakwa, melainkan alat bukti yang dilengkapi dengan barang bukti yang saling bersesuaian.

"Di pengadilan bukan dengan gerak-gerik, tapi dengan alat bukti. Pengadilan itu bukan baca gerak mata, gerak badan. Itu kan cinta," bantah Asep.

Asep bahkan menilai bahwa jika di pengadilan masih mempedulikan gerak-gerik, maka pengadilan tersebut akan "rusak". Baginya bahkan, ilmu yang mempelajari gerak-gerik badan dan sebagainya itu dianggap sebagai "ilmu dukun".

"Tidak bisa seperti itu, Bu Dewi. Rusak ini pengadilan kalau pakai gerak-gerik tubuh seperti itu. Ini 'ilmu dukun,'" ujar Asep pula.

Tidak hanya Asep, pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri, pun turut menanggapi pernyataan Dewi. Menurutnya, pernyataan pakar Hypnoterapi tersebut sangat tidak diterima di depan pengadilan. Pasalnya menurutnya, untuk membuktikan seseorang dikatakan sebagai pelaku harus berdasarkan alat bukti, bukan berdasarkan pengakuan saksi dan juga informasi yang ada.

"Untuk pencarian fakta, jangan mengandalkan informasi dari mulut manusia, karena yang dari ingatan manusia sering lupa dan terputus. Jangan mengandalkan pada informasi dari mulut manusia," kata Reza.

Lebih jauh, Reza pun meminta kepada Dewi agar tidak "membodohi" masyarakat dalam pengungkapan sebuah kasus yang berkaitan dengan hak asasi manusia tersebut.

"Kalau kita langsung secara khilaf mengatakan, karena matanya berkedip sebagai sebuah kebohongan (misalnya). Menurut saya, kita perlu mencerdaskan kembali masyarakat," kata Reza.

Menanggapi bantahan kedua pakar dan praktisi itu, Dewi tetap bersikukuh bahwa gerak-gerik seseorang merupaka pintu masuk untuk mengungkapkan sebuah kasus. Menurutnya, meskipun tidak dipraktekkan di depan hakim di pengadilan, paling tidak hal tersebut dapat membantu penyidik dalam mengungkap kasus yang belum menemukan titik terang.

"Entry point-nya mata. Entry point-nya bukan hanya sianida. Tapi yang kita lakukan adalah brain sailing, melakukan pelayaran pada pikiran orang. Ada banyak keterangan dan informasi, tapi kita bisa ambil satu benang merahnya," kata Dewi.

Pernyataan Dewi itu pun langsung dijawab lagi oleh Reza. Menurutnya, teori yang dipakai oleh Dewi itu sama halnya dengan Polri menggunakan lie detector. Padahal menurutnya, alat tersebut pun tidak dijadikan patokan oleh hakim di pengadilan negara-negara maju.

"Polisi juga gunakan lie detector dalam mengungkap kasus seperti ini. (Namun) Dari sekian banyak negara bagian di Amerika Serikat, hanya lima sampai sekarang yang masih menggunakannya. Sisanya menggangap itu adalah sampah. Tidak ada lembaga peradilan di Amerika Serikat yang menjadikan lie detector sebagai bukti dalam persidangan," pungkas Reza.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI