Suara.com - Dua minggu yang lalu, tepatnya Kamis (14/1/2016), Jakarta diguncang serangan teroris. Serangan pertama yang terjadi sejak serangan bom di Jakarta tahun 2009, menyasar simbol bisnis Amerika Serikat, Starbucks, dan pos polisi di Jalan M. H. Thamrin.
Serangan terbuka di pusat Ibu Kota tersebut menelan delapan korban jiwa (empat pelaku dan empat warga tak bersalah), dan 26 orang lainnya luka berat dan ringan.
Dalam waktu singkat, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri dapat melumpuhkan pelaku, kemudian menelisik jaringannya.
Seorang agen keamanan asal Australia saat ditemui suara.com di Jakarta memuji respon cepat Polri dalam menangani kasus Thamrin.
“Yang bagus. Sesaat bom Thamrin tertangani. Polri mengimplementasi lock down di Sarinah, membatasi gerakan warga yang di dalam gedung-gedung di seputar Sarinah,” agen yang ingin tetap anonim.
Tindakan lock down Polri ketika itu untuk dapat memastikan warga sipil tidak akan tertembak peluru yang dilepaskan pelaku. Dapat dibayangkan berapa jatuh korban jiwa lagi kalau seandainya lockdown tak diterapkan.
Seperti diketahui, tidak lama sesudah pelaku meledakkan dua bom, mereka mulai menembakkan timah panas secara acak di tengah jalan. Korban pun berjatuhan, baik sipil maupun polisi, termasuk warga negara asing.
Saat itu, sebagian warga pergi menjauhi lokasi, tapi sebagian lagi malah berduyun-duyun mendekat untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Rasa ingin tahu warga yang begitu besar terhadap peristiwa itu menjadi masalah tersendiri bagi operasi Polri ketika itu.
Tindakan Polri pada situasi genting kala itu, katanya, menunjukkan bahwa mereka mementingkan keamanan masyarakat.