Pernyataan yang menyebut lesbian, gay, biseksual, dan transgender tidak melanggar HAM dengan dasar pasal-pasal tentang HAM dalam UUD 1945 merupakan pernyataan yang salah dan menyesatkan, demikian dikatakan anggota Komisi III Fraksi PKS Nasir Djamil.
Menurut anggota Fraksi PKS seringkali bab tentang HAM dalam UUD 1945 hanya dibaca mulai dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I saja. Menurut dia banyak pasal yang tidak dibaca. Bab tentang HAM, katanya, sampai dengan Pasal 28J.
Pasal 28J menyatakan: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
"Pasal 28J ini tegas bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain, dapat dibatasi dengan undang-undang sesuai pertimbangan moral, agama, keamanan, dan ketertiban," kata Nasir, Rabu (27/1/2015).
Itu sebabnya, menurut Nasir, banyak pegiat HAM di Indonesia melupakan Pasal 28J. Padahal, pasal tersebut kunci bangsa Indonesia menghormati HAM. Kebebasan HAM di Indonesia, katanya, bukan sebebas-bebasnya, tapi dibatasi oleh kewajiban asasi manusia (Pasal 28J).
"Lihatlah sejarah dimasukkannya Pasal-Pasal HAM dalam UUD 1945. Dimulai dari TAP MPR No. 17 Tahun 1998, menyatakan bahwa pandangan bangsa Indonesia tentang HAM adalah adanya penegasan kewajiban asasi manusia bagian yang melekat bagi diri manusia disamping HAM itu sendiri. Jadi kewajiban asasi manusia adalah kewajiban untuk menghormati HAM orang lain," katanya.
Berangkat dari lahirnya TAP, kata dia, diterbitkanlah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam UU ini dinyatakan beberapa hal yang substansinya senafas dengan TAP Nomor 17 tahun 1998. Pasal-pasal tersebut dimasukkan dalam satu bab tersendiri dalam konstitusi ketika Perubahan UUD 1945 yang menyeimbangkan jaminan HAM dan pembatasannya, kata Nasir.
Nasir menambahkan sebagai perbandingan, dia meminta agar pegiat HAM belajar pada Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang uji materi UU Narkotika terkait hukuman mati.
Menurut dia kalau dilihat secara kasat mata, hak hidup berdasar Pasal 28I ayat (1) adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun (non derogable rights).
"Ini artinya hukuman mati seharusnya bertentangan dengan pasal tersebut, tapi dengan nalar dan pertimbangan yang sangat cerdas, MK menyatakan bahwa hukuman mati itu konstitusional karena Pasal 28I ini juga harus merujuk Pasal 28J, sehingga hukuman mati adalah sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian tidak boleh itu menafikan Pasal 28J UUD 1945," kata Nasir.