Suara.com - Sebuah surat terbuka dibuat oleh LGBT rights defender atau pembela Hak LGBT yang isinya menyayangkan pernyataan dari 5 pejabat negara antiLGBT. Mereka menyebut kelima pejabat itu melanggar HAM LGBT.
Kelima pejabat negara itu adalah Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Anggota Komisi X DPR Fraksi PPP Reni Marlinawati, dan Anggota Komisi III DPR Fraksi PKS Muhammad Nasir Djamil.
Salah satu aktivis pembela HAK LGBT, Lini Zurlia mengatakan pernyataan mereka terkait orientasi seksual cukup mengkhawatirkan. Petisi itu disebar ke jaringan organisasi LGBT dan non LGBT, begitu juga ke individu.
Sampai saat ini surat terbuka itu sudah disebar oleh 350 lebih individu dan puluhan organisasi.
"Peryantaan tersebut kian menyulut kebencian antar sesama warga Negara, tidak hanya menyulut kebencian namun juga berpotensi terjadinya kekerasan. Dalam kerangka perlindungan Hak Asasi Manusia ini adalah pelanggaran HAM bagi warga negara dengan orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender (SOGIE) yang berbeda, lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseex (LGBTI)," begitu petikan surat tersebut.
Sebelumnya Menteri Nasir menyatakan LGBT tidak boleh masuk kampus, sementara Zulkifli Hasan LGBT harus dilarang karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Lainnya, Nasir Jamil berpandangan LGBT tidak boleh dibiarkan berkembang di kampus.
Sementara itu Reni Marlinawati menilai LGBT melanggar norma agama dan bertentangan dengan hukum positif. Terakhir, Anies Baswedan juga berpandangan orang tua dan guru harus mewaspadai LGBT. Pernyataan itu sudah beredar luas di media beberapa waktu lalu.
"Penyataan tersebut di atas jelas inskonstitusional dan merupakan tindakan pelanggaran HAM," pernyataan koalisi itu.
Menurut Lini, itu membuktikan jelas bahwa negara ini tidak bisa menerima keberagaman warga negaranya. Termasuk keberagaman orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender. Sementara Undang-undang Dasar menjamin hak warga negara.
Ada sekitar 40 hak konstitusional warga negara Indonesia yang harus dijamin, beberapa hak yang dimaksud di antaranya hak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi (Pasal 28 F), hak mendapatkan pendidikan (pasal 31 ayat 1, pasal 28 C ayat 1 ), hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul (28 E ayat 3), hak untuk menyatakan pikiran (28 E ayat 2), hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun (Pasal 28 I ayat 2).
Sementara dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 yang telah diratifikiasi dan diadopsi oleh Indonesia kedalam pasal 28 UUD 1945, menegaskan bahwa setiap orang terlahir sama dan setara dan terbebas dari tindakan diskriminasi dan kekerasan. Indonesia melalui lembaga HAM Negara, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) telah menjadi tuan rumah pada tahun 2005 dari terbentuknya prinspip-prinsip Yogyakarta menuangkan ada 29 prinsip yang harus dipenuhi terkait hak-hak warga Negara LGBT, prinsip-prinsip tersebut juga diadopsi dari DUHAM dan UUD 1945.
"Lalu muncul pertanyaan, mengapa warga Negara LGBT harus dilindungi sama dengan warga Negara lainnya? Karena menurut lembar fakta yang dimiliki oleh Arus Pelangi yang disarikan dari hasil penelitian tahun 2013 menyebutkan fakta bahwa 89,3 persen LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Di mana 79.1 persen dalam bentuk kekerasan psikis, 46.3 persen dalam bentuk kekerasan fisik, 26.3 persen dalam bentuk kekerasan ekonomi, 45.1 persen dalam bentuk kekerasan seksual, dan 63.3 persen dalam bentuk kekerasan budaya," papar dia.
Lini melanjutkan dari sekian banyak kasus kekerasan yang terjadi 65,2 persen di antaranya mencari bantuan ke teman dan 17,3 persen di antaranya perenah melakukan percobaan bunuh diri.
"Dalam situasi seperti ini, di manakah Negara? Negara absen, bahkan malah cenderung menjadi pelanggar HAM bagi mereka, seperti pernyataan-pernyataan yang akhir-akhir ini marak diucapkan oleh pejabat Negara," kata dia lagi.