Suara.com - Tiga terpidana kasus terorisme yang diajukan sebagai saksi dalam sidang peninjauan kembali (PK) kasus Abu Bakar Ba'asyir menyatakan bahwa pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) itu tidak terlibat dalam pelatihan militer di Aceh.
"Tidak pernah dikaitkan dengan beliau (Ba'asyir)," kata saksi Qomaruddin alias Abu Musa alias Mustaqim alias Abu Yusuf alias Hafshoh saat memberi kesaksian dalam sidang di Ruang Wijayakusuma, Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (26/1/2016).
Sidang lanjutan PK yang diajukan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir dipimpin majelis hakim yang diketuai Nyoto Hindaryanto serta beranggotakan Zulkarnaen dan Akhmad Budiman.
Lebih lanjut, Qomaruddin mengaku ditunjuk sebagai koordinator latihan militer di Pegunungan Janto, Aceh, oleh almarhum Dulmatin. Ia mengatakan bahwa Dulmatin juga sama sekali tidak pernah menyebut nama Abu Bakar Ba'asyir terlibat dalam pelatihan militer itu.
Dengan demikian, lanjut dia, yang memerintah atau perencana latihan militer adalah Dulmatin, bukan Ba'asyir.
"Setahu saya, status beliau (Ba'asyir) dimintai sumbangan, bukan sengaja menyumbang. Setahu saya, beliau selalu menyumbang untuk kegiatan kemanusiaan dan pesantren," kata terpidana kasus pelatihan militer di Aceh yang divonis 10 tahun penjara itu.
Dia mengakui jika pernah diajukan sebagai saksi saat sidang Ba'asyir di PN Jakarta Selatan namun saat itu, kesaksian tersebut disampaikan melalui "teleconference" dari Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Menurut dia, pelatihan militer di Aceh sama sekali tidak ditujukan untuk menyerang kepolisian ataupun menggulingkan negara melainkan untuk jaga diri terhadap kemungkinan adanya serangan terhadap umat Islam, seperti dalam konflik di Poso dan Maluku.
"Warga sekitar juga tidak merasa terteror. Bahkan, saat kami dikepung aparat, kami diberi makan oleh warga," kata Qomaruddin seperti dikutip Antara.
Kendati demikian, dia mengaku pernah berkirim surat untuk minta dukungan doa kepada Ba'asyir pascapengepungan lokasi latihan militer oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Menurut dia, surat tersebut dititipkan kepada salah seorang peserta latihan yang hendak pulang ke Solo, Jateng. Akan tetapi, dia mengaku tidak tahu apakah surat tersebut sampai atau tidak sampai di tangan Ba'asyir.
"Saya tulis surat kepada beliau karena beliau sudah sepuh dengan harapan doanya di-ijabah oleh Allah SWT," katanya.
Saksi lainnya, Abdullah Sonata alias Arman Kristianto juga mengatakan bahwa Ba'asyir tidak terlibat dalam latihan militer di Aceh.
Bahkan saat bertemu dengan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Aceh, kata dia, nama Ba'asyir juga tidak pernah disebut-sebut terkait dengan pelatihan tersebut.
"Tidak pernah disebut-sebut," kata dia yang divonis 10 tahun penjara karena terbukti sebagai pemasok senjata untuk pelatihan militer di Aceh itu.
Sementara saksi Joko Sulistyo alias Mahfud mengaku sebagai orang kedua setelah Qomaruddin alias Abu Yusuf dalam pelatihan militer di Aceh. Menurut dia, kegiatan di Aceh tidak direncanakan untuk menggulingkan negara.
"Orientasinya lebih ke Palestina," kata dia yang divonis 14 tahun penjara itu.
Sama seperti dua saksi lainnya, Joko juga mengatakan bahwa Ba'syir tidak terlibat dalam latihan militer di Aceh.
Terkait keterangan yang disampaikan tiga saksi tersebut, tim jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa keterangan saksi tidak bisa dijadikan bukti atau novum baru.
"Keterangan saksi tidak bisa memberikan fakta baru karena telah disampaikan di pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," katanya.
Usai mendengarkan keterangan dari tiga saksi yang merupakan terpidana kasus terorisme penghuni sejumlah lembaga pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan, Cilacap, sidang diskors untuk salat Zuhur dan makan siang.