Kisah Kakek 83 Tahun Korban Rezim Soeharto, Usir Tiga Jenderal

Minggu, 24 Januari 2016 | 14:48 WIB
Kisah Kakek 83 Tahun Korban Rezim Soeharto, Usir Tiga Jenderal
Wimanjaya Keeper Liotohe [suara.com/Nikolaus Tolen]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kisah tentang Wimanjaya Keeper Liotohe seakan tak ada habisnya. Lelaki bergelar profesor dan doktor berusia 83 tahun ini dulu pernah menjadi korban ketidakadilan rezim Orde Baru.

Ketidakadilan pemerintah Soeharto dia alami sejak tahun 1971. Pada saat itu, kata Wimanjaya, pemerintah sampai pernah menggusur rumahnya sehingga dia harus berpindah tempat tinggal.

Puncaknya, dia dijebloskan ke penjara selama dua tahun. Gara-garanya, karya buku Wimanjaya berjudul Primadosa, Primaduka, dan Primadusta dianggap merusak martabat pemerintah.

Dia sadar telah menjadi korban. Itu sebabnya, Wimanjaya berjuang untuk mendapatkan keadilan, termasuk harus berhadapan dengan petinggi-petinggi militer dan hukum.

Ditemui Suara.com di rumahnya, Jalan Poltangan III, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (22/1/2016) sore, Wimanjaya menceritakan pengalamannya dalam menghadapi cobaan.

 Berawal dari bukunya berjudul Reformasi Sistem Nasional. Buku ini ikut memopulerkan istilah reformasi di Indonesia. Buku ini membikin Soeharto terusik. Selanjutnya, penerbitan buku berjudul Primadosa, Primaduka, dan Primadusta yang membikin penguasa Orde Baru kebakaran jenggot.

“Yang mengganggu itu buku Primadosa, tiga jilid, Primadusta Supersemar dua jilid, dan Primaduka tentang matinya tiga juta Rakyat Indonesia akibat kejadian 1965 sampai 1998,” kata Wimanjaya.

Buku tersebut diterbitkan pada Oktober tahun 1993. Ketika itu, kata Wimanjaya, Soeharto sampai menyebutnya sebagai orang gila dan ingin melawan. Pernyataan tersebut, kata Wimanjaya, disampaikan di hadapan 400 perwira TNI di Tapos, Bogor, Jawa Barat. Saat itu, ada pertemuan di area peternakan Soeharto yang luasnya mencapai tujuh ribu hektar.

“Sesudah waktu Soeharto di Tapos itu, baru saya diinterogasi. Tiga kali oleh Kejaksaan Agung, lima kali oleh kepolisian, dan satu kali oleh 12 jenderal TNI, ada Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, Sutiyoso. Dan itu sejak tahun 1994-1996 pada saat saya masuk penjara di Cipinang. Pokoknya interogasi terus menerus tersebut sangat melelahkan, keluarga diteror juga,” katanya.

Tapi, itu semua tak membuat semangat Wimanjaya kendur. Dia tetap pada prinsip. Lelaki yang sekarang punya enam anak ini berprinsip kebenaran pasti menang.

Suatu hari, Wimanjaya dipanggil dan diinterogasi jenderal polisi. Waktu itu ada tiga jenderal di salah satu ruang interogasi. 

“Saya dipanggil polisi dan polisi bertanya kepada saya, saudara tahu, kenapa saudara dipanggil? Saya jawab, saya nggak tahu. Oh saudara menghina Presiden. Saya bilang mana surat, kasih tunjuk surat, timnya di surat ada lima orang yang mau periksa saya, ketuanya kolonel Lubis, ada juga Letkol, mayor, dan Kapten. Saya hitung, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8. Saya bilang kok di surat ada lima, kenapa ada delapan orang, tiga orang ini siapa? Oh tiga ini jenderal, itu bos kami pak. Saya bilang, nggak bisa, biar pun dia bos kamu, dia nggak bisa memeriksa saya di sini,” kata Wiman menceritakan kembali dialog dengan para jenderal polisi.

Tapi, para jenderal juga bersikeras untuk tetap memeriksa Wimanjaya.

“Nggak apa-apa, mereka itu nggak ikut memeriksa bapak, mereka untuk memantau anak buah, jangan-jangan kami menempeleng bapak atau melanggar HAM atau salah bertanya. Saya bilang, tidak, sekalaipun bos kamu, Jenderal Soeharto, panglima tertinggi RI, tidak boleh masuk di sini memeriksa saya, keluar,” kata Wimanjaya.

Pada waktu itu, Wimanjaya makin marah, dia berteriak dan mengacungkan tangan dengan maksud untuk meminta para jenderal segera pergi.

“Melihat tiga jenderal keluar, yang ketakutan adalah pengacara saya, Alamsyah Hanafi. Dia bilang kepada kelima polisi tersebut. 'Pak, pak, beribu-ribu maaf pak, ini klien saya orang gila pak.' Terus tiga jenderal di luar itu terus berpikir, loh kenapa kita keluar, kan dia yang terdakwa, kenapa kita bos di sini. Mau masuk lagi, sudah malu, dan yang lima orang di dalam itu tunduk terus, malu bosnya diusir,” kata Wiman sambil tertawa.

Wimanjaya melanjutkan cerita. Melihat sikap keras Wimanjaya, Kolonel Lubis akhirnya memintanya untuk pulang. Pemeriksaan hari itu dibatalkan.

Tapi, sebelum pulang, Kolonel Lubis memberi Wimanjaya kertas folio yang berisi puluhan pertanyaan terkait buku Primadosa. Wimanjaya diminta menyerahkan jawaban ke polisi dilain hari.

“Terus di mobil pengacara saya bilang begini, untung tadi saya minta maaf pak, kalau tidak sebentar malam kita sudah diciduk, pak, diikat kawat, dimasukkan dalam karung, dibuang ke laut, dan mati misterius. Saya bilang, kenapa mesti minta maaf terhadap jenderal goblok begitu, kalau dia jenderal benaran pasti dia bilang tidak, 'kami bos di sini, kamu terdakwa, jangan banyak mulut, nanti saya tembak mulutmu, gigimu rontok, mau?' Itu saya cuma gertak, bilang keluar saja, keluar benaran,” katanya Wimanjaya sambil tertawa.

Suatu hari, Wimanjaya diperiksa lagi di Kejaksaan Agung. Tiga jam lamanya. Jaksa Muda Intel Kejaksaan Agung menginterogasinya, antara lain mencari tahu sumber dokumen untuk menulis buku.

Tapi, Wiman menolak memberitahu. Bahkan, dia marah. Jaksa pun menyerah.

“Saya bilang oh ada pesawat yang lewat di Poltangan, dia buang kertas-kertas, saya pungut saja, eh ternyata dokumen. Dia mau supaya saya memberi tahu alasannya. Tapi kan nggak bisa saya memberitahukan sumbernya, menurut kode etik jurnalistik, kan nggak boleh kita menceritakan sumber berita itu, itu nggak bisa. Terus saya bilang, kalau saya kasih lihat aslinya, kamu berani nggak tangkap Soeharto, dia bilang ya nggak dong. Kalau nggak ya, nggak usah, saya kalau saya kasih aslinya saya tunjukkan ke kamu, tapi kamu nggak berani tangkap Soeharto, sama saja saya kasih mutiara kepada b**i (suara keras). Waduh, kaget dia, langsung dia bilang, merokok pak, merokok pak, saya bilang, saya tidak merokok. Terus dia pusing, dia bilang, begini pak, bapak pulang aja, nanti kapan-kapan kami panggil lagi nanti, sampai hari ini, saya nggak pernah dipanggil lagi,” katanya.

Wimanjaya pernah menjalani interogasi yang menurutnya sangat menegangkan. Ketika itu dia berhadapan dengan 12 petinggi TNI. Di antaranya ada Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Sutiyoso. Dibanding yang lain-lain, Wiranto lebih galak.

“Yang paling galak itu Wiranto, dia bertanya misalnya, kenapa kamu gugat keluarga Soeharto, Ibu Tien dan keluarganya. Saya bilang karena mereka berbisnis atas nama Presiden dengan konglomerat hitam, itu sudah menyalahgunakan wewenang Presiden,” kata Wimanjaya.

REKOMENDASI

TERKINI