BIN Kesulitan Deteksi Waktu Serangan Teroris

Ririn Indriani Suara.Com
Minggu, 24 Januari 2016 | 11:38 WIB
BIN Kesulitan Deteksi Waktu Serangan Teroris
Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso didampingi Deputi 6 Bidang Komunikasi dan Informasi Bambang Wiyono dan Deputi 2 Bidang Dalam Negeri Tamrin [suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aksi teror bom di kawasan pusat perbelanjaan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016), yang masih terus diselidiki Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengungkap siapa otak di baliknya menjadi pertanyaan tentang kinerja intelijen.

Muncul pertanyaan apakah intelijen kecolongan, sampai ada bom di siang bolong di jantung Ibu Kota? Mengingat aksi teror yang menelan korban nyawa tujuh orang, sebagian besar nyawa pelaku sendiri itu justru terjadi di pusat pemerintahan, bahkan berjarak kurang dari 3 kilometer dari Istana Negara.

Sejak pilkada serentak, menjelang Natal dan malam Tahun Baru 2016 deteksi dini sebenarnya telah dilakukan. BIN sebagai koordinator intelijen dibantu Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri sejatinya dalam beberapa peristiwa telah melakukan koordinasi dan berhasil mencegah berbagai serangan teror.

Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso mengatakan sejak awal BIN telah memberikan sinyalemen yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dan aparat keamanan akan adanya aksi serangan yang dilakukan teroris.

Namun, deteksi yang dilakukan BIN tak dapat memprediksi kapan waktu serangan akan dilakukan. "Karena serangan teroris tidak mengenal ruang, waktu dan sasaran. Sehingga sulit untuk mendeteksinya," kata Sutiyoso saat memberikan keterangan pers di kantornya, Jumat (15/1/2016).

Sinyal potensi aksi teror itu telah diberikan sejak November 2015. Saat itu, BIN menyebutkan jika ratusan alumni Negara Islam di Iraq dan Suriah (NIIS/ISIS) kembali ke Tanah Air.

Selain itu, kata dia, terdapat 423 mantan narapidana kasus terorisme yang telah dibebaskan. BIN, tambah Sutiyoso, juga mendeteksi adanya pelatihan-pelatihan oleh kelompok radikal.

"Mereka yang kembali ke Tanah Air ini kan menyebar ke berbagai daerah. Kita juga sudah informasikan ke BIN daerah mengenai hal tersebut untuk dilakukan monitoring," ujarnya.

Dari hasil monitoring yang dilakukan, sempat diketahui jika akan terjadi kemungkinan aksi serangan teroris pada 9 Januari 2016. Namun kenyataannya, aksi tersebut tidak terjadi.

"Kami mendapat info. Di mana, kapan waktunya kita tidak pernah tahu. Buktinya Natal dan Tahun Baru aman-aman saja. Tapi akhirnya ya itu tadi, serangan teroris tidak mengenal ruang dan waktu. Sehingga aksi teror terjadi pada Kamis (14/1) di kawasan Jalan MH Thamrin," kata Bang Yos, sapaan Sutiyoso.

Kesulitan itu, lanjut dia, juga dialami oleh negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Thailand, Turki dan Prancis. Di sana bahkan, obyek vital sudah dijaga ketat tapi ternyata aksi teroris dilakukan di tempat konser.

Kewenangan Menangkap
Oleh karena itu Sutiyoso mengusulkan, agar BIN diberikan kewenangan dalam menangkap dan menahan pelaku terorisme.

"Jika ingin penanganan terorisme di Indonesia lebih memberikan rasa aman, perlu perbaikan di dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme. Dimana BIN diberikan kewenangan yang lebih yaitu penangkapan dan penahanan. Tentu kita tetap menyeimbangkan antara HAM dan lainnya," ujarnya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menilai UU Intelijen dan UU Terorisme saat ini masih kurang memberikan kewenangan maksimal bagi BIN dalam memberantas teroris.

Bang Yos mengatakan, BIN telah menjalankan fungsi dan tugasnya dalam upaya mendeteksi serangan teroris tersebut. Wewenang deteksi itu diatur di dalam UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

Dalam pasal 31 pada UU itu menyebutkan, BIN memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran.

"Tapi dalam pasal 34 wewenang BIN dibatasi. Karena penggalian itu hanya dapat dilakukan tanpa tindak lanjut melakukan penangkapan dan penahanan," jelasnya.

Mantan Ketua Umum PKPI ini juga menambahkan, sering kali informasi yang diberikan BIN tidak dilanjuti oleh Polri. Ini karena keterbatasan yang dimiliki Polri yang bertugas melakukan penangkapan dan penahanan.

"Contohnya, ada pelatihan teroris yang disampaikan oleh BIN, tidak bisa ditindaklanjuti karena alat bukti kurang memadai," ucapnya.

TNI tak Masalah
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan revisi Undang-Undang Terorisme sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah. TNI hanya menjalankan peraturan.

"Itu kan urusan pemerintah, saya melaksanakan saja. TNI tidak pernah berpikir (kewenangan) bertambah atau berkurang yang penting TNI bisa mengabdikan yang terbaik untuk bangsa dan rakyat Indonesia, TNI nggak pernah ribut-ribut TNI," ujar Gatot.

Meski demikian, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ini menilai, undang-undang apapun idealnya harus berdasarkan pada perkembangan situasi terkini.

"Perlu disesuaikan dengan kondisi terbaru, kalau di evaluasi tidak perlu dirubah ya dilanjutkan. Semua UU begitu, UU 1945 aja ada amandemen 1,2,3 dan seterusnya kok," ujarnya.

Rusak Sistem Hukum Ketua Setara Institute Hendardi berpendapat usul Badan Intelijen Negara (BIN) yang meminta tambahan kewenangan untuk bisa menangkap setiap orang yang dicurigai sebagai teroris justru akan merusak sistem penegakan hukum di Indonesia.

"Usul ini tidak kontekstual dan justru berpotensi merusak sistem penegakan hukum di Indonesia," katanya.

Terorisme Harus Diperangi Bersama
Sementara itu, Hendardi berpendapat ketidakmampuan BIN mendeteksi potensi teror bukan karena keterbatasan kewenangan, tetapi karena kinerja institusi ini yang belum optimal.

"Jadi jangan setiap ada peristiwa teror minta kewenangan. Isu utamanya adalah koordinasi antarinstitusi penegak hukum dan intelijen," kata Hendardi.

Menurut Hendardi, tugas BIN itu mengumpulkan informasi dan berkoordinasi dengan aparat hukum untuk menindak.

"Jadi masalah utamanya ada pada koordinasi. Kalau BIN 'jalan sendiri', maka sulit BIN bisa berkontribusi dalam penanganan kasus-kasus seperti ini," katanya.

Dia menjelaskan gejala BIN jalan sendiri tampak jelas dalam penanganan kelompok Din Minimi di Aceh.

Hilangkan Ego Sektoral Pengamat intelijen Susaningtyas NH Kertopati mengkritisi aparat keamanan dan pemerintah yang cenderung bekerja sendiri-sendiri untuk mengatasi atau membongkar jaringan terorisme di Indonesia.

Menurut dia, aksi teror di kawasan Thamrin membuka mata bahwa penanganan terorisme di Indonesia bukan hanya menjadi tanggung jawab polisi, tetapi aparat keamanan dan instansi pemerintah lainnya, yakni BIN, TNI, BNPT, Kementerian Agama (Kemnag), Kementerian Sosial (Kemsos), dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).

"Hentikan ego sektoral. Polisi, BIN, BNPT, Kemenag, Kemsos, Kemdikbud jangan kerja sendiri-sendiri untuk atasi terorisme. Saatnya berkoordinasi dan melakukan pencegahan terorisme secara holistik dan integratif," kata Nuning, sapaan Susaningtyas.

Mantan anggota Komisi I DPR ini menambahkan, peran serta masyarakat juga sangat penting. Nuning juga mengkritik masyarakat Indonesia yang permisif terhadap anomali, bahkan mudah terkena rayuan idealisme radikal yang membungkus diri dengan ajaran agama, terutama Islam.

"Terorisme harus diperangi bersama. Masyarakat jangan cuek atau menjadi penonton yang membiarkan aparat menangani masalah ini sendiri. Peran aktif masyarakat untuk mendeteksi embrio dan tindakan teror sangat diperlukan," ujar Nuning.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI