Ini Kisah Lengkap Kakek Korban Kekejaman Rezim Orde Baru

Sabtu, 23 Januari 2016 | 11:20 WIB
Ini Kisah Lengkap Kakek Korban Kekejaman Rezim Orde Baru
Wimanjaya Keeper Liotohe [suara.com/Nikolaus Tolen]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kekejaman Presiden Soeharto semasa kepemimpinnya selama kurang lebih 32 tahun sangatlah diraskan oleh orang yang sangat menenetangnya.Orang-orang yang tidak sepaham dan tunduk pada kebijakannya pasti akan menjadi sasaran kekejaman para tentaranya.

Salah satu orang yang menjadi korban dari brutalnya kebijakan Presiden kedua Republik Indonesia adalah Profesor Doktor Wimanjaya Keeper Liotohe. Pria yang sudah berusia 83 tahun tersebut bercerita bahwa dirinya sangat  dibenci oleh Ayah dari Tommy Soeharto tersebut.

“Sebenarnya Soeharto itu sudah mulai membenci saya ketika saya menulis buku pertama saya. Buku prtama saya itu judulnya ‘Reformasi Sistem Nasional’. Istilah reformasi di Indonesia itu sebenarnya saya yang mencetuskan pertama kali melalui buku Reformasi Sistem Nasional itu,” kata Pak Wiman saat berbincang dengan Suara.com di rumahnya di Jalan poltangan III Gang Pejambon Pasar Minggu,  jakartta Selatan, Jumat(22/1/2016) sore.

Namun sebenarnya, bukan karena beredarnya buku tersebut di masyarakat yang membuat dirinya dipenjarakan oleh Soeharto. Pria yang mendapat gelar Profesor di Amerika Seerikat tersebut menceritakan bahwa alasan Pria yang berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan Preiden pertama Bung Karno tersebut memenjarakan dirinya karena menulis sejumlah buku tntang kebobrokan Soeharto semasa menguasai kursi nomor satu di Indonesia.

“Tidak, bukan itu(Buku Reformasi Sistem nasional). Yang mengganggu bagi Soeharto itu buku ‘Primadosa’, isinya dosa Soeharto sebanyak tiga jilid. Kemudian buku ‘Primadusta’ tentang Supersemar sebanyak dua jilid, dan buku ‘Primaduka’ pmbunuhan tiga juta rakyat  Indonesia dari Sabang Sampai Merauke, dari Sangir Talaud sampai Rote, dari Tahun 1965 sampai tahun 1998. Itu menjadi alasan pemerintah Soeharto memenjarakan saya,” kata pria yang  diusia 83 tahun tersebut kepalanya masih dhiasi oleh banyak rambut yang masih berwana hitam.

Pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Hubungan masyarakat di Direktorat Jenderal Perhubungan Darat selama 15 tahun tersebut lantas menceritakan awal dirinya menuliskan buku yang membangkitkan amarah sang penguasa saat itu. Wiman mengatakan bahwa pada saat itu  dirinya diundang oleh Organisasi Internasional Perserikatan Bangsa-Bnagsa (PBB) untuk berpidato di Markas Besarnya di Jenewa Swiss. Dan itu terjadi pada tanggal 17 Agustus tahun 1993, bertepatan dengan perayaan ulang Tahun RI yang ke-48. Dalam pidato dihadapan tamu internasional tersebut, Pria kelahiran Sangir Talaud Manado tersebut menyampoaikan pelanggaran Hak Asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintahan RI, dalam hal ini Soeharto.

“Iya mula-mulanya dari situ, kemudian pada bulan Oktober 1993 itu, saya luncurkan Buku ‘Primadosa di Balai Kota Amsterdam Belanda kepada masyarakat Indonsia di Belanda, tetapi saat itu dihadiri juga oleh pers, radio, dan televisi,” katanya menjelaskan..

Rupanya Wiman yang pada waktu  itu berbicara denagn berapi-api saat meluncurkan buku di Belanda tersebut tidak pernah memiliki rasa curiga sedkit pun bahwa ada orang yang siap menjatuhkannya. Dia pun tidak tahu kalau ada intel Indonesia yang pada saat itu bertugas di Belanda mngirimkan buku tersebut ke Indonsia. Dimana, dalam ceritanya tersebut buku tersebut dikirim kepada Ketua Sentral organisasi karyawan Swadiri Indonsia( SOKSI) yang pada saat itu dijabat oleh Almarhum Suhardiman. SOKSI ini adalah organisasi yang melahirkan Partai Golkar dan kemudian menjadi organisasi sayapnya, Partai Berlambangh Beringin tersebut.

“Rupanya ada buku saya yang diselundupkan oleh Intel Indonesia yang bertugas di Belanda kepada Ketua SOKSI, Suhardiman waktu itu, Suhardiman kasih kepada Pangkokaptib Sudomo dan Sudomo kasih ke Soeharto. Soeharto marah sekali, kemudian dia kumpulkan 400 perwira di Tapos Bogor,” kata Pria beranak enam tersebut.

Dalam pidatonya dihadapan 400 perwira di lokasi peeternakan pribadinya di atas tanah seluas 7000 hektar tersebut, kata Wiman, Soharto mengatakan dirinya orang gila. Tulisanya dalam buku tersebut diniliai oleh Soeharto sebagai upaya untuk melawan dirinya.

“Dia bilang, ada orang gila yang berani melawan saya, ingin merubah Pancasila. Saya dicap gila, saya dikatakan mau merubah Pancasila dasar neagra, “ kata Wiman.

Meskipun sudah dicap gila dan dinilai mau melawan, Soherto tidak langsung menangkapnya. Beberapa waktu setelah pidato di Tapos Bogor tersebut, barulah dirinya mulai dinterogasi oleh tiga pihak, dan dilakukan secara terus menerus. Kata Wiman, pihak Kepolisian menginterogasinya sebanyak satu kali, oleh kejaksaan sebanyak lima kali, dan oleh 12 Jenderal, dimana di dalamnya ada, Wiranto dan Soesilo Bambang Yudhoyoni,  dan juga jenderal lainnya. Interogasi yang sangat melelahkan tersebut terjadi sejak tahun 1994.

“Di kepolisian saya diinterogasi oleh lima orang, tapi tiga jenderal yang tambahan, saya usir, dan mereka keluar. Saya tidak ditahan dan disuruh pulang lalu tidak dipanggil lagi. Dikejaksan lima kali, sama juga di suruh pulang, dan tidak dipanggil kembali hingga sekarang, dan oleh 12 jenderal, Wiranto yang paling galak,” katanya.

Sempat mengalami nafas lega, Wiman akhirnya harus benar-benar diringkuk oleh Soeharto di dalam penjara.

Berawal dari Haul Bung Karno pada bulan Juli 1996, dimana dirinya berziarah ke makam Bung Karno. Dalam kunjungan tersebut, dirinya mendapatkan keajaiban, yakni dari potretan kameranya yang diambil oleh temannya, ada bayangan Bung Karno yang muncul dari Batu Nisan. Pada saat itu dirinya sedangn duduk bersilah didepan makam Bung Karno. Tidak berhenti disitu, pada hasil jepretan kamera yang lain, dari makam Bung Karno keluar cahaya yang mengarah kepadanya. Dan katanya itu adalah keajaiban. Pada akhirnya foto tersebut disita oleh Soharto karena dianggap supersemar gaib yang mau menggulingkan pemerintah yang sah.

“Terus pada tanggal 4 September 1996, ada konferensi pers dan rapat raksasa di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di jalan Diponegor 74. Hadir wartawan dalam negeri dan asing, perwakilan kedutaan besar yang ada di jakarta. Saat itu ditanya siapa yang mau jadi preiden lawan Soeharto, Ali Sadikin, tidak bersedia, Adnan Buyung Nasution, tidak bersedia, Todung Mulya Lubis, tidak bersedia, Amien rais, tidak ,bersedia, lalu Wimanjaya. Saya langsung berteriak, bersedia,  siaaapp,” katanya dengan semangat berteriak meniru  gayanya dulu  dengan gaya menyatakan siap, seperti sedang menghormati Bendera merah Putih kalau saat sedang Upacara Bendera.

Setelah peristiwa pencalonan diri menjadi Presiden tersebut, dirinya langsung ditangkap. Namun, dirinya tidak ditangkap di Jakrta, melainkan saat dirinya pulang ke kampungn halamannya di Sangir Talaud Manado untuk meminta restu orang tua dan keluarganya menajdi Presiden.

“Baru pada tanggal 4 September tahun 1996 itu, sa ya satu-satunya calon presiden yang melawan Soeharto, saya berangkat ke Sangir, ktemu ayah dan ibu saya. Saya sunkem terus saya bilang saya mau jadi Presiden RI. Baru ciuman dengan Bapa dan Ibu saya, tahu-tahunya bapak dan Ibu saya kaget dan gemetaran, loh kenapa seluruh halaman rumah sudah dipenuhi tentara, polisi, sepeda motor, dan jeep. Waduh, saya langsung ditangkap, dibawa ke Manado dengan kapal, baru dari manado dengan pesawat dibawa ke jakarta, baru masuk tahanan Mabes Polri satu tahun kemudian dipindahkan ke Cipinang selama dua tahun,” katanya tetap dengan riang dan semangat.

Namun, status  terdakwanya sebenarnya lima tahun, dan karena dia dibebaskan pada sebulan sebelum Soeharto lengser pada taun 1998, dimana pada waktu itu dia langsung  gabung dengan mahasiswa untuk mendudki senayan dan meminta Soeharto lengser. Dirinya pun hanya dipenjara dua tahun.

Namun, karena statusnya masih terdakwa saat dikeluarkan dari penjara, Wimajaya mau agar dirinya benar-benar bebas. Iapun meminta agar perkaranya dibuka kembali. Dan  tim baru pada saat itu memutuskan, bahwa dirinya tidak bersalah, karena dalam bukunya tidak mengandung tindakan kriminal. Pada tahun 2001 pun, dia resmi bebas.

Wiman kemudian melkukan gugatan terhadap jaksa Agung pada Januari tahun 2015, karena dalam putusannya tahun 2001 tersebut, dia tidak bersalah, namuin dipenjara dua tahun, dan ditahan satu tahun. Atas penajra dua tahun tersebut, dinilainya sudah merugikannya, sehingga digugat ke Pengadillan negeri jakarta Selatan. Dan akhirnya gugatan yang menuntut Jaksa Agung membayar ganti rugi 126 miliar tersebut dikabulkan sebagiannya oleh majelis Hakim pada Agustus 2015 lalu.

Kini dirinya berhak mnerima ganti rugi sebesar satu miliyar rupaih. Namun, hingga saat ini uang tersebut belum diterimanya, , karena Jaksa Agung melakukan upaya Banding ke Pengadilan Tinggi, sehingga putusan tesebut belum berkekuatan hukum tetap(incracht). Atas upaya banding Jaksa Agung dirinya pun melakukan upaya kontra banding ke Pengadilan Tinggi dan hingga saat ini hasilnya belum ada.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI