Suara.com - Komisi III DPR melakukan rapat kerja bersama Kejaksaan Agung, Selasa (19/1/2016). Rapat kali ini berjalan dengan banyak pertanyaan ketika Kejaksaan Agung memaparkan soal kasus pemufakatan jahat yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Dalam kasus itu, Kejaksaan Agung menangani perkara yang bermula dari rekaman yang berisi suara Mantan Ketua DPR Setya Novanto, Pengusaha Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, yang membicarakan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Yang menarik, politisi Golkar Setya Novanto tidak tampak dalam rapat kerja ini. Padahal, nama Setya ada di daftar hadir Komisi III tanpa tandatangan bukti hadir. Novanto sendiri namanya pernah diadukan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk pelanggaran etik dalam kasus tersebut. Dia pun sudah mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR.
"Dia (Novanto) izin untuk tidak hadir," kata salah seorang staf Kesekretaritan Komisi III, Selasa (19/1/2016).
Tanya jawab dalam rapat kali ini bergulir variatif. Sejumlah anggota Komisi III mempertanyakan kelanjutan kasus ini.
Seperti, anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra Supratman yang meminta Jaksa Agung untuk adil dalam penanganan kasus ini. Selain tiga tokoh tadi, Supratman juga mengusulkan supaya Menteri ESDM Sudirman Said juga ditelisik keterkaitannya.
Apalagi, Sudirman sempat mengirim surat ke Presiden PT Freeport Mcmoran James R Moffett 'Jimbob' yang membicarakan soal perpanjangan kontrak. Padahal, berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perpanjangan kontrak baru bisa dibicarakan tahu 2019, dua tahun sebelum kontrak berakhir.
"Bukti suratnya ada dalam rangka perpanjangan dan ini menyalahi UU Minerba, tapi aparat penegak hukum termsuk kejaksaan tidak melakukan upaya apa-apa menyangkut itu," ujar Supratman yang sempat menjadi Anggota MKD saat kasus ini bergulir.
Anggota Komisi III Fraksi PKS Nasir Djamil memberikan pandangannya, yang dikutip dari pendapat pakar hukum Andi Hamzah. Yaitu, sejauh ini tidak ditemukan adanya unsur pidana dalam pertemuan itu. Dengan dalih itu, dia pun mempertanyakan dilanjutkannya kasus ini.
"Jadi jangan yang enggak ada di cari-cari. Sementara yang ada ditiadakan. Ini lah yang jadi problem," kata Nasir.
Anggota Komisi III Fraksi PDIP Junimart Girsang memberikan pandangan supaya Reza Chalid dipanggil terlebih dahulu untuk mendalami kasus tersebut. Menurut Wakil Ketua MKD ini, Reza diduga membantu Novanto untuk membicarakan saham dalam pertemuan kala itu. Dugaan tersebut menguat karena dalam rekaman yang menjadi alat bukti ini, suara Reza lebih banyak terdengar.
"Sebaiknya panggil Riza dulu karena dia yang tahu anatomi pertemuan itu dann tentang isi pertemuan," ucapnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Hanura Syarifuddin Suding meminta supaya Kejaksaan Agung untuk memutuskan adanya dua alat bukti dalam kasus ini. Saat sudah mengantongi itu, Kejaksaan harus menetapkan tersangka dan melanjutkan kasus tersebut ke penyidikan.
"Kalau belum ada bukti sebaiknya dihentikan untuk menghindari kegaduhan," ucap Sudding yang merupakan Anggota MKD.
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Demokrat Benny K Harman menganggap Kejaksaan Agung terlalu ngotot untuk memeriksa Novanto. Sementara, Reza Chalid yang juga diduga terlibat tidak menjadi fokus Kejaksaan dan keberadaannya juga tidak diketahui. Dia menganalogikan kasus ini seperti tarian poco-poco yang hanya maju mundur.
"Kenapa Jaksa Agung lumpuh dihadapan Riza Chalid? Novanto diobok-obok, Riza Chalid dibiarkan," ujar Benny.
Anggota Fraksi Nasdem Taufiqulhadi berbeda pandangan dengan yang lain. Ketika semuanya mempertanyakan kelanjutan kasus ini, dia malah mendukung kasus ini dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung. Apalagi, ada putusan dari MKD tentang perkara tersebut.
"Yang penting, alat bukti cukup. Apalagi MKD menyatakan pelanggaran berat dan sedang di situ, itu dukungan politik," kata Taufiqulhadi.
Menanggapi ini, Prasetyo hanya menjawab singkat. Dia pun memastikan kasus ini berjalan sesuai fakta hukum, dan bukan berdasarkan kepentingan politik. Kejaksaan, tambahnya, juga sudah mempunyai bukti selain rekaman percakapan itu. Namun bukti itu belum bisa diungkap karena masih dalam tahap penyelidikan.
"Kami tidak ngotot atau tebang pilih dan sebagainya. Tidak ada unsur politis.Penegakan hukum berdasarkan fakta, itu jaminan saya," kata Prasetyo.