Paradigma Aparat Penegak Hukum Terkait Pengadaan Dinilai Kacau

Adhitya Himawan Suara.Com
Minggu, 17 Januari 2016 | 06:08 WIB
Paradigma Aparat Penegak Hukum Terkait Pengadaan Dinilai Kacau
Diskusi publik bertajuk “Pengadaan Barang Jasa dan Kekhawatiran Kriminalisasi Hukum”
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Sektor pengadaan  barang atau jasa merupakan kegiatan yang menakutkan bagi pengguna anggaran negara dan BUMN disebabkan adanya paradigma hukum aparat yang tidak faham dan cenderung bertentangan satu dengan yang lain.
 
Selain itu terdapat kekacauan dalam hal definisi kerugian negara yang cenderung mengambang karena banyaknya lembaga yang berhak untuk melakukan penilaian mulai dari BPK, BPKP hingga Kantor Akuntan Publik. Kondisi ini mengakibatkan proses pengadaan barang dan jasa menjadi sesuatu hal yang menakutkan karena rentan dari jerat kriminalisasi.
 
Kesimpulan tersebut didapat dalam diskusi publik bertajuk “Pengadaan Barang/Jasa dan Kekhawatiran Kriminalisasi Hukum” yang digelar Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI) di Hotel Intercontinental Mid Plaza, Jumat (15/1/2016).
 
“Adanya perbedaan paradigma antara aparat hukum, polisi dan kejaksaan membuat mereka cenderung melihat dari aspek hukum yang hasilnya adalah pembalasan. Tidak terpikirkan apakah kerugian negara bisa kembali saat seseorang dihukum,” ujar Sabela Gayo, perwakilan Asosiasi Pengacara Pengadaan Barang/Jasa.
 
Selain menghadirkan Sabela Gayo, diskusi juga menampilkan Ahli Pengadaan Barang/Jasa dari Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI) Mudjisantosa yang juga penulis buku, Ir. Harmawan Kaeni Anggota Dewan Pengawas IAPI, Ketua Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Provinsi Jawa Timur Yuswanto, pakar hukum dan Pengadaan Barang/Jasa Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LL.M. dengan dimoderatori pakar manajemen FE- UI Prof. Rhenald Kasali.
 
Diskusi ini digelar disebabkan makin berkembangnya kekhawatiran di kalangan ahli pengadaan barang/jasa, di mana aparat penegak hukum begitu gencar melakukan penghukuman kepada pelaksana pengadaan barang dan jasa, salah satunya kasus pengadaan di Pelindo II.
 
Sebelumnya mantan Dirut Pelindo II RJ Lino telah melakukan penunjukkan langsung perusahaan Huang Dong Heavy Machinery (HDHM) dari Tiongkok dalam pengadaan tiga quay container crane (QCC) dan dianggap telah menyalahi aturan.
 
Padahal pengadaan sudah dilakukan sebanyak 10 kali tender sejak 2007, namun selalu gagal. Penunjukan langsung tersebut juga sesuai dengan Permen BUMN No. 5/2008 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang dan Jasa.
 
Dalam Pasal 9 ayat 3, jelas tertulis penunjukan langsung dapat dilakukan bila salah satu syarat terpenuhi. Di antaranya barang dan jasa tidak dapat ditunda pengadaannya dan berkaitan dengan aset strategis perusahaan.
 
Bercermin pada hal tersebut kemudian menimbulkan ketakutan dari penyelenggaraan pengadaan barang/jasa dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjadi 'demoralisasi dan demotivasi', daya serap anggaran yang rendah, pembangunan menjadi terhambat, baik terhadap proyek pemerintah maupun BUMN. 
Menurut pakar hukum Universitas Indonesia Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LL.M., yang juga mantan komisioner Komisi Yudisial praktik bisnis itu dinamis sehingga hukum bisnis selalu tidak sempurna. "Kalo semua mau sesuai norma, maka Anda akan kehilangan potensial bisnis. Tindakan bisnis kadang tidak 100% ideal secara hukum, boleh saja. Asalkan ada value jugdment yang menjadi dasar mengambil keputusan tersebut," tegasnya.
 
Ibrahim juga mengingatkan tindakan kriminalisasi yang dilakukan aparat hukum sebagai tindakan menyelamatkan uang negara tidak dilarang oleh hukum pidana. "Tetapi dipidanakan tanpa dasar yang kuat dan sekedar tuduhan, itulah kriminalisasi!"

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI