Legalisasi Hukum Kebiri Dinilai Jadi "Balas Dendam" Pemerintah

Adhitya Himawan Suara.Com
Minggu, 17 Januari 2016 | 05:58 WIB
Legalisasi Hukum Kebiri Dinilai Jadi "Balas Dendam" Pemerintah
Ilustrasi kejahatan seksual pada anak. (Shutterstocks)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aliansi Tolak Perppu Kebiri menolak wacana legalisasi hukuman kebiri bagi pelaku kejatana seksual.  

Supriyadi W. Eddyono dari Aliansi Tolak Perppu Kebiri menjelaskan bahwa pihaknya merupakan sebuah jaringan 96 organisasi non pemerintah di Indonesia yang menaruh perhatian pada anak-anak korban kejahatan kekerasan seksual. "Sejalan dengan itu kami juga menaruh perhatian besar pada reformasi hukum di Indonesia yang tujuannya agar anak-anak Indonesia mendapatkan perlindungan dan jaminan hukum yang adil dan pasti dari negara," kata Supriyadi pernyataan resmi, Jumat (15/1/2016).

Di atas itu semua, Aliansi Tolak Perppu Kebiri menaruh keprihatinan besar atas terjadinya suasana ketakutan di kalangan masyarakat dikarenakan kegagalan pemerintah dan lembaga negara terkait, dalam menanggulangi kejahatan kekerasan seksual.  Dalam catatan mereka,  saat ini pemerintah telah menyelesaikan dan segera akan mengesahkan Peratuan Pemerintah Penggganti Undang-Undang pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual pada anak.

"Namun, kami masih prihatin dengan adanya wacana Perppu tersebut mengatur tentang Kebiri (chemical castration) bagi Pelaku Kejahatan Kekerasan Seksual Pada Anak (Perppu Kebiri). Jika draft Perppu tersebut masih mengatur mengenai kebiri, kami menganggap langkah pemerintah ini tidak lagi setia pada cita-cita mendemokratisasikan hukum pidana dan memberikan orientasi hak asasi manusia pada reformasi hukum pidana," ujar Supriyadi.

Ia menilai upaya pemerintah ini merupakan upaya “balas dendam” atas nama kepentingan korban dengan lebih mentitikberatkan pemberatan pidana bagi pelaku dari pada memikirkan penangggulangan kejahatan kekerasan seksual dan jaminan pemulihan bagi korban. Ia juga mengingatkan pemerintah bahwa berdasarkan pendapat ahli, praktek kebiri atau chemical castration ini lebih didominasi pada motivasi kampanye retorika bagi kepentingan politik.

"Selain itu, kami juga mengkritik keras sikap pemerintah dan lembaga negara terkait yang secara sengaja menutup akses publik pada draft Perppu. Kami mencatat bahwa sampai saat ini kami sangat sulit mendapatkan akses pada draft ini. Perancangan yang serba tertutup ini membuktikan pemerintah tidak lagi berkomitmen untuk melibatkan partisipasi masyarakat dan mendorong upaya keterbukaan informasi yang dijamin dalam UUD  1945 dan UU Keterbukaan Informasi Publik," jelas Supriyadi.

Aliansi Tolak Perppu Kebiri mencatat bahwa sebelumnya pendekatan memperberat pidana bagi pelaku merupakan perspektif yang masih dipertahankan oleh pemerintah, sebagai contoh revisi UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak melalui UU No. 35 Tahun 2014,  juga mendasarkan pada asumsi bahwa kejahatan seksual terhadap anak bisa dikurangi dengan memperberat ancaman hukuman terhadap para pelakunya. Hasilnya ternyata dijawab sendiri oleh pemerintah dengan menyebutkan bahwa saat ini Indonesia sedang memasuki masa genting karena maraknya kejahatan kekerasan seksual pada anak.

"Kami mengetahui selama ini pemerintah tidak memiliki kajian dan data terkait tingkat kegentingan kejahatan kekerasan seksual pada anak, tingkat kegentingan ini semisalnya apakah pemerintah memiliki angka berapa rata-rata pelaku kejahatan seksual pada anak yang dihukum pengadilan, berapa lama rata-rata tuntutan yang diajukan oleh jaksa, dan yang terpenting berapa banyak pelaku yang mengulangi tindak pidananya. Tanpa hal ini, maka kami percaya rekomendasi hukum kebiri sebagai solusi menanggulangi kejahatan kekerasan seksual pada anak adalah wacana ilusi yang tidak berdasar," tegas Supriyadi.

Aliansi Tolak Perppu Kebiri melihat pemerintah sama sekali tidak memiliki arah, pemetaan, dan kajian terkait peraturan perundang-undangan mana saja yang harus dibenahi untuk menekan angka kekerasan seksual pada anak. Mereka mengingatkan bahwa UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya batas usia minimum perkawinan bagi anak perempuan (16 tahun bahkan lebih) layak untuk direvisi. Kami menilai bahwa ketentuan UU perkawinan yang memperbolehkan anak di bawah usia 18 tahun dan bahkan jauh di bawah usia itu untuk kawin, membuka potensi legalisasi phedofilia dengan kedok perkawinan. "Isu ini sepengamatan kami, belum menjadi perhatian utama dari pemerintah, atau lebih tepat, tidak menjadi perhatian pemerintah. Namun, untuk konteks ini, ke depan kami mendukung penuh pemerintah untuk membenahi legislasi dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak," tutup Supriyadi.

Aliansi Tolak Perppu Kebiri terdiri dari :

ICJR, ELSAM, ECPAT INDONESIA, LBH Apik Jakarta, Forum Pengada Layanan, LBH Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Masyarakat, PBHI, SAPA Indonesia, LBH Pers, PKBI, WALHI, KePPaK Perempuan, Institut Perempuan, HRWG, CEDAW Working Group Initiative (CWGI), ASOSIASI LBH APIK, Perempuan Mahardika, Positive Hope Indonesia, KONTRAS, Perkumpulan Pendidikan Pendampingan untuk Perempuan dan Masyarakat (PP3M) – Jakarta, OPSI, Lentera Anak Pelangi, PSHK, LDD, SAMIN, Gugah Nurani Indonesia, Sahabat Anak, Perkumpulan Magenta, Syair.org, Tegak Tegar, Simponi Band, YPHA, Budaya Mandiri, IMPARSIAL, Yayasan Pulih, Kriminologi UI, Aliansi Pelangi Antar Bangsa, KPKB, Institut KAPAL Perempuan, ANSIPOL, Lembaga Partisipasi Perempuan, Kalyanamitra, Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan, Women Research Institute, PD Politik, Indonesia untuk Kemanusiaan, Institute Pemberdayaan Perempuan dan Anak Indonesia (IPPAI), Aman Indonesia, Indonesia Beragam, Yayasan Cahaya Guru, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), PEKKA, Migrant Care, Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender seluruh Indonesia (APPHGI), INFID, Rahima, Association for Community Empowerment (ACE), Perkumpulan Rumpun, Sejiwa, LPBHP Sarasvati, Sapa Institut – Bandung, YLBHI, MaPPI FH UI, LeIP, TURC, Masyarakat Akar Rumput (MAKAR), Afy Indonesia, Rifka Annisa – Yogyakarta,  IPPI (Ikatan Perempuan Positif Indonesia), SCN CREST (Semarak Cerlang Nusa), Aliansi Remaja Independen, Fahmina Institute, MITRA IMADEI, Yayasan Bakti Makassar, Yayasan Kesehatan Perempuan, Asosiasi PPSW, Jala PRT, Cahaya Perempuan WCC, Rumah KITAB, SEPERLIMA, PKWG UI, PRG UI, Kajian Gender UI, Flower Aceh, Perkumpulan Harmonia, Yayasan Nanda Dian Nusantara, ILRC, Mitra Perempuan Women’s Crisis Center, PUSKA PA UI, Yayasan Jurnal Perempuan, Solidaritas Perempuan, Yayasan KAKAK Solo, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), PGI, YSSN Pontianak.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI