Suara.com - Pemilihan Presiden Taiwan ditutup pada Sabtu sore (16/1/2016) dan penghitungan suara dimulai dengan harapan mendapatkan perempuan pertama pemimpin dalam sejarah pemilihan umum, yang diduga mengakhiri delapan tahun hubungan lebih dekat dengan Cina.
Semarak demokrasi diduga dapat menekan Cina dengan mengantarkan sarjana menjadi politisi Tsai Ing-wen berkuasa, menggeser partai berkuasa yang cenderung bersahabat dengan Cina.
Pemilih gelisah atas pemanasan hubungan saat ekonomi mandek dan kekecewaan atas penandatanganan perjanjian dagang dengan Cina dapat mengurangi keuntungan bagi masyarakat biasa di Taiwan.
Tsai adalah pemimpin Partai Progresif Demokratik (DPP), yang lebih mewaspadai pendekatan dengan Tiongkok daripada tindakan tidak populer, yang diambil partai penguasa Kuomintang (KMT).
Hasil jajak pendapat atas Tsai lebih bagus jika dibandingkan dengan calon dari KMT, Eric Chu.
Dengan hasil diumumkan pada Sabtu, warga berkumpul di markas DPP di Taipei, yang dipenuhi pedagang cenderamata, mulai dari mug hingga gantungan kunci bergambar Tsai.
Satu kelompok kecil mengacung-acungkan "banner" bertuliskan "Taiwan bukan bagian dari Tiongkok. Dukung kemerdekaan Taiwan".
"Tiongkok tidak berhak mengklaim Taiwan dan kami akan mengatakannya kepada dunia," kata seorang anggota kelompok itu, Angela Shi, yang baru pulang dari San Fransisco, Amerika Serikat, untuk memilih presiden baru.
Lebih dari 18 juta jiwa memenuhi syarat untuk memilih, beberapa dari mereka mengkritik KMT atas kesalahannya mengelola perekonomian dan mengubah lebih dekat dengan Cina.
"Taiwan butuh perubahan, perekonomian, dan politik," kata Lee, pemilih berusia 65 tahun di Taipei, "Pemerintah bersandar terlalu mudah dengan Cina." Namun kubu KMT di Kota New Taipei menyuarakan keprihatinannya.
"Saya takut kemungkinan terpilihnya Tsai Ing-wen. Anda tahu posisi nya dalam hubungan antarselat -- jika dia tidak tepat mengatasi isu dan peningkatan ketegangan, tak seorang pun akan beruntung," kata Yang Chin-chun, pemilik toko berusia 78 tahun.
Namun, keadaan memburuk yang dialami bintang remaja pop Korea Selatan asal Taiwan mendominasi pemberitaan lokal pasa Sabtu.
Chou Tzuyu (16), anggota band perempuan "Twice" yang berbasis di Korsel dipaksa meminta maaf setelah banyaknya kritik disampaikan dalam jaringan di Tiongkok akibat melambai-lambaikan bendera resmi Taiwan dalam tayangan di internet baru-baru ini.
Video penyesalannya menjadi viral dalam beberapa jam, saat Tsai, Chu, dan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou semuanya mendukung pembelaannya dan menjawab pertanyaan dari Cina dan Korsel.
Peringatan Tsai melangkah penuh kehati-hatian menghadapi strategi Cina dengan mengatakan akan terus mempertahankan "status quo" dengan Beijing.
Namun, tradisi DPP adalah partai yang mendukung kemerdekaan Taiwan dan pihak penentang mengatakan Tsai akan menjadikan hubungan dengan Cina tidak stabil.
Presiden KMT saat ini Ma telah mengawasi persesuaian dramatis dengan Cina sejak berkuasa pada 2008.
Meskipun Taiwan berdiri sendiri sejak berpisah dari Tiongkok setelah perang sipil pecah pada 1949, tidak pernah mendeklarasikan kemerdekaan dan Beijing masih mengangap Taiwan sebagai bagian dari teritorialnya untuk menantikan reunifikasi.
Pemilihan parlemen juga digelar pada Sabtu, KMT riskan kalah dalam perebutan suara mayoritas di legislatif. (Antara)
Taiwan Gelar Pemilihan Presiden Hari Ini
Adhitya Himawan Suara.Com
Sabtu, 16 Januari 2016 | 23:57 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Oposisi Utama Korsel Ancam Makzulkan Presiden Sementara, Desak Tanda Tangan RUU Penyelidikan Yoon Suk Yeol
22 Desember 2024 | 19:01 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI
News | 08:23 WIB
News | 08:02 WIB
News | 07:43 WIB
News | 07:32 WIB
News | 02:10 WIB
News | 23:30 WIB