Meski telah berlangsung dengan lancar, pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang berlangsung Rabu (9/12/2015) lalu menyisakan sejumlah problematika yang serius. Banyak kecurangan bahkan kejahatan Pilkada, seperti: ketidaknetralan Aparat Sipil Negara (ASN), penyelenggara dan pengawas, politik uang yang massif, penggunaan dana APBD (dana bansos), dan rendahnya partisipasi pemilih menyebabkan integritas Pilkada menjadi sangat lemah. Namun, upaya menegakkan integritas pilkada mengalami kebuntuan.
Menurut koordinator Gerakan Anti Kejahatan Pilkada (Gerak Pilkada), Isra Ramli, Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada menjadi tembok penghalang penegakan keadilan.
"Menjadi tidak relevan untuk bicara menang kalah, mempermasalahkan selisih suara apabila hal tersebut terjadi karena kecurangan bahkan kejahatan Pilkada baik yang dilakukan peserta, penyelenggara, pengawas maupun pihak lainnya," tegas Isra dalam pernyataan tertulis, Jumat (08/01/2016).
Demi menjaga integritas Pilkada, GERAK Pilkada menuntut tiga hal. Pertama, mendesak Presiden segera mengeluarakan Peraturan Pengganti UU (Perppu) untuk mencabut Pasal 158.
Kedua, lanjut Isra, meminta Mahkamah Konstitusi agar terlebih dulu bersidang untuk uji materi (judicial review) UU Pilkada dan mencabut Pasal 158 sebelum meneruskan proses persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilkada.
"Tuntutan ketiga, meminta DPR segera melakukan revisi UU PILKADA," ucap dia.
Isra menegaskan, persoalan menjaga integritas Pilkada ini sangat penting dan mendesak. Berdasarkan catatan MK, terdapat 147 daerah yang mengajukan gugatan ke MK.
"Ini merupakan persoalan nasional yang sangat serius agar disikapi dengan pantas dan oleh para pihak terkait, terutama lembaga kepresidenan, DPR RI, dan MK sebagai penjaga konsititusionalisme," pungkas dia.