Suara.com - Sebuah perjanjian bersejarah antara Korea Selatan dan Jepang untuk mengakhiri perseteruan puluhan tahun terkait budak seks perang terbentur pada kendala kecil, tapi menakutkan, soal patung kecil seorang gadis remaja.
"Saya di sini untuk membela monumen perdamaian," kata Jung Woo-Ryung (22) pada Selasa (5/1/2016) saat berdiri di samping sosok patung tembaga dengan posisi duduk untuk menjaganya.
Patung itu dibangun di trotoar seberang Kedutaan Besar Jepang di Seoul pada tahun 2011. Patung menggambarkan seorang perempuan muda bertelanjang kaki, mengenakan pakaian tradisional Korea 'hanbok' dan dengan kepalan tangan di pangkuannya.
Patung tersebut merupakan simbol penderitaan yang dialami oleh para perempuan yang disebut "wanita penghibur", yang dipaksa bekerja di rumah bordil milik militer Jepang selama Perang dunia II. Patung gadis remaja itu juga adalah lambang perjuangan mereka untuk memperoleh permintaan maaf resmi dan kompensasi dari Tokyo.
Pekan lalu, Jepang menawarkan permintaan maaf dan 1 miliar yen (8,3 juta dolar AS) bagi 46 wanita penghibur Korea yang masih hidup. Tawaran itu berada di bawah perjanjian, yang digambarkan kedua negara sebagai kesepakatan "akhir dan tidak dapat diubah".
Namun, perjanjian itu telah memicu kebingungan atas kelangsungan nasib patung wanita itu, yang kini telah menjadi fokus bagi para aktivis Korea Selatan yang menuduh pemerintah menjual patung ke Tokyo.
Perjanjian yang membingungkan Jepang menegaskan perjanjian tersebut merupakan upaya yang jelas dari Korea Selatan untuk memindahkan patung, dengan Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida menyatakan pada Senin bahwa, menurut pemahamannya, patung itu akan "direlokasi dengan semestinya".
Tapi, Seoul mengatakan hanya berjanji untuk melihat kemungkinan memindahkan patung tembaga itu dan memanggil seorang pejabat senior Kedutaan Besar Jepang untuk memprotes komentar provokatif Kishida.
Kementerian luar negeri Korea Selatan juga telah menekankan karena patung itu dibangun oleh kelompok-kelompok sipil, pihaknya tidak memiliki hak untuk memerintahkan agar patung itu dipindahkan.
Kelompok yang memelopori kampanye untuk membuat dan mendirikan patung perunggu itu bersikeras bahwa patung tidak akan berpindah ke mana pun.
Patung tidak bisa menjadi "syarat atau sarana kesepakatan apa pun," kata Dewan Korea untuk Perempuan atas Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang dalam sebuah pernyataan di situsnya.
"Dan pemerintah Korea tidak boleh menyebutkan apa pun tentang penghapusan atau pemindahan monumen," tambahnya.
Sentimen publik Korea Selatan tentang perjanjian secara keseluruhan hampir sama, tetapi sentimen meningkat tajam terhadap masalah patung. Jajak pendapat menunjukkan 75 persen orang menentang pemindahan patung dari tempatnya.
Penyeimbangan yang sulit Bong Young-Shik, seorang peneliti senior tentang Jepang di Asan Institute for Policy Studies di Seoul, mengatakan perselisihan menempatkan pemerintah Korea Selatan di posisi yang sulit, mengingat cukup besarnya modal politik yang sudah dikeluarkan untuk membuat kesepakatan dengan Jepang.
"Isu tentang budak seks masa perang adalah masalah yang sangat emosional di Korea dan patung itu sebagai simbolnya," kata Bong.
"Masyarakat marah dengan upaya Jepang untuk menghapus patung, bahkan lebih marah karena pemerintah Korea seperti terlihat bekerja sama dalam hal ini," tambahnya.
Sosok perunggu yang menatap ke seberang jalan di kedutaan Jepang selama empat tahun terakhir didirikan dengan sumbangan masyarakat sebanyak 30 juta won (25 ribu dolar AS).
Kursi kosong di sebelah patung perempuan muda mewakili para korban yang tewas sejak perang, sementara bayangan yang terukir ke dasar patung melambangkan seorang wanita tua yang lemah -yang mencerminkan penderitaan yang masih menghantui para korban.
Patung itu terbukti menjadi simbol yang sangat ampuh dan populer, dan biasanya dikenakan pakaian sesuai dengan musim - seperti topi wol dan syal di musim dingin.
Lebih dari dua lusin monumen serupa telah dibangun di sekitar Korea Selatan, dan selusin atau lebih didirikan di luar negeri di Amerika Serikat, Kanada dan di tempat lainnya.
Di luar Kedutaan Besar Jepang, Jung Woo-Ryung mengatakan dia akan tetap menjaga patung selama diperlukan.
Jung terjun ke dalam sebuah organisasi mahasiswa, yang merupakan salah satu anggota dari sejumlah kelompok yang telah berjaga-jaga untuk melindungi patung perunggu itu.
"Kami menuntut agar masalah ini diselesaikan dengan memenuhi tuntutan para korban. Saya akan terus datang ke sini selama protes berlangsung," katanya.
(Antara)