Suara.com - Akhir tahun 2015 ditutup dengan kabar di kalangan politisi, bahwa Presiden Joko Widodo kembali akan merombak kabinet. Sejumlah partai politik kembali bergolak, bergairah untuk mengusulkan penggantian sejumlah nama menteri, sekaligus nama calon menteri bermunculan. Tengok saja Partai Amanat Nasional (PAN) dan Golkar kubu Agung Laksono yang mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Namun, kapan kepastian Jokowi akan "reshuffle" kabinet belum ada kejelasan.
Menanggapi rencana perombakan kabinet jilid dua ini, pengamat politik dari FISIP Universitas Lampung Arizka Warganegara mengatakan, sebaiknya Presiden Jokowi jangan hanya mengikuti selera pasar dalam melakukan perombakan kabinet.
Namun, hendaknya menggunakan indikator target dan evaluasi yang jelas dan terukur, kata pengamat politik dari Unila yang sedang menempuh studi untuk meraih gelar doktor (S-3) di Jurusan Migration and Ethnic Politics di University of Leeds Inggris, melalui pesan elektronik yang diterima di Bandarlampung, Sabtu (2/1/2016).
Ia menyarankan agar Presiden Jokowi tidak mempertimbangkan selera politik atau selera pasar atau "political and market taste" dalam reshuffle jilid II kali ini.
Satu sisi, kata dia, memang penguatan komposisi eksekutif versus legislatif jadi pertimbangan, artinya wajar jika secara politik, Presiden Jokowi berusaha didukung 50 persen plus satu suara parlemen.
Akan tetapi, kata lulusan S-2 dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) itu pula, bukan berarti mesti melakukan political atau market taste di atas kepentingan negara.
Menurut dia, harus ada indikator target dan evaluasi yang jelas dan terukur dalam reshuffle yang mesti terkuantifikasi.
Ia mencontohkan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Dr. Siti Nurbaya, salah satu menteri yang relatif cukup berhasil dalam kasus bagaimana Menteri ini berhasil untuk menjalankan instruksi tegas Presiden soal pemberhentian total konsesi lahan hutan terhadap beberapa perusahaan.
"Anis Baswedan juga Menteri yang saya pikir punya mental bekerja dan bekerja. Sosok seperti ini yang harus dipertahankan oleh Presiden Jokowi," ujarnya lagi.
Arizka juga mengingatkan, pada bagian lain Presiden sebagai "chairman executive board" harusnya juga me-"warning" para menteri yang masih bermental "serasa" di luar pemerintahan dan bukan bagian dari pemerintahan.
"Hal ini yang membuat saya menduga persepsi publik sedikit terganggu terhadap leadership Presiden Jokowi yang dianggap tidak mampu merapatkan barisan kabinetnya," kata Arizka.
Secara politik, lanjut dia, tentunya ini merugikan Presiden Jokowi.
"Tiga tahun lebih waktu tersisa seharusnya dapat dimaksimalkan bekerja untuk rakyat," katanya. (Antara)