Suara.com - Keluarga pasangan suami istri beda agama, mantan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Bimo Nugroho dan Taty Aprilyana mengajarkan bahwa perbedaan itu indah.
Mereka bisa saling menghormati satu sama lainnya, seperti pada perayaan Natal tahun ini. Taty tak pernah lupa untuk memberikan ucapan selamat kepada suami tercinta.
"Kami tidak ada masalah, biasanya dulu sewaktu mamah (mertua) masih ada, kalau Natalan, kami pergi ke Semarang. Sekarang sejak mamah tidak ada, paling dua tahun sekali pergi pas Natalan ke kampung," kata Taty, penulis skenario film Cinta Tapi Beda, kepada Suara.com, Jumat (25/12/2015).
Taty mengatakan ketika keluarga besarnya berkumpul, keharmonisan di tengah perbedaan keyakinan sangat terasa. Dan hal itu membuat kebahagiaan tersendiri baginya.
Tahun ini, tepatnya Minggu (27/12/2015) nanti, keluarga besar akan kumpul di rumah Taty di Bumi Serpong Damai, Tangerang, dengan mengambil momentum Natal. Sedulur-sedulur dari berbagai daerah akan datang.
"Nanti akan ada misa ekaristi dan lain sebagainya. Kami akan mengundang romo (pemuka agama Katolik) untuk memimpin misa di rumah," kata Taty.
Taty menggambarkan suasana sedulur-sedulurnya saat kumpul untuk merayakan Natal akan sama seperti suasana pada hari raya Idul Fitri.
"Jadi reuni keluarga," kata ibu dari enam orang anak.
Lebih jauh, Taty bercerita tentang bagaimana mengajari anak. Anak-anak Taty selama ini dididik secara Islam. Sikap toleransi sudah mulai tertanam di hati mereka. Pada acara kumpul keluarga besar Minggu nanti, anak-anak pun turut serta membantu mempersiapkan acara.
"Gimana anak-anak akan berada dalam situasi itu. Mereka nggak ikut misa dan ibadah, tapi berada di situ. Ikut bantu-bantu," katanya.
Taty mengatakan keluarganya selalu mengajarkan kepada anak tentang pentingnya sikap dan perilaku menghargai perbedaan keyakinan.
"Bahwa ayahnya merayakan kelahiran juru selama yang dia yakini," katanya. "Anak-anak, senang. Namanya kan perayaan, mereka gembira."
Keikutsertaan anak-anak dengan mendukung acara Natal keluarga sebagai wujud sama-sama ikut bahagia menghormati perayaan agama yang diyakini ayah.
"Di keluarga kami perbedaan buka sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Menurutku selalu ada titik yang temukan keimanan. Karena dasarnya untuk kabarkan kebaikan, dalam hal itu, kami yakin sekali ada titik temu, dalam iman," katanya.
Taty juga bercerita tentang bagaimana anak-anaknya sudah memahami makna saling menghormati keyakinan.
Misalnya, mereka membuat kartu ucapan Natal. Bukan hanya untuk ayah tercinta, tetapi juga buat teman-teman.
Penghormatan juga ditunjukkan Bimo saat Taty dan anak-anaknya merayakan Idul Fitri atau hari-hari besar agama Islam.
"Kalau Idul Fitri, dia juga nganter ke lapangan (tempat salat). Dia petugas pengantar dan penjemput," kata Taty sambil tertawa.
Bagi Taty, berbeda itu indah, termasuk urusan iman. Perbedaan adalah fitrah.
"Dunia diciptakan dalam keberagaman. Kalau kita dalam situasi berbeda dengan orang lain termasuk urusan iman, memang itu fitrah manusia. berada dalam kultur yang beragam, itu, kan berikan pengalaman lengkap," katanya.
Yang menarik dari keluarga Bimo dan Taty adalah, meski anak-anak dididik secara Islam, mereka tetap sekolah di sekolah Katolik. Bukan apa-apa, tujuannya semata-mata untuk menanamkan tentang pentingnya toleransi.
"Anak-anak masuk sekolah Katolik. Lebih karena ingin mengajarkan anak-anak bisa menerima perbedaan dan merasakan menjadi minoritas," kata Taty.