Suara.com - Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) mencatat, dalam 10 tahun terakhir kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia semakin mengkhawatirkan.
Berdasarkan data World Press Freedom Index 2015 yang dirilis Reporters Sans Frontiers (Prancis), berada di posisi 138 dari 180 negara. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2014 yakni di posisi 132.
Ketua Umum AJI Indonesia Suwarjono mengatakan, posisi tersebut berada di bawah Thailand yang notabene negara tersebut dipimpin oleh junta militer.
"Kami mencatat khususnya sepanjang tahun 2015 ini bahkan ada penurunan. Hal ini membuktikkan pemerintah belum serius melakukan langkah-langkah terkait kebebasan pers ini. Tandanya dari tahun ke tahun tidak ada perbaikan. Apalagi tahun 2015 ini paling buruk sejak reformasi bergulir," kata Jono saat menggelar konferensi pers 'Catatan Akhir Tahun 2015 AJI' di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat, Minggu (20/12/2015).
Ia mengungkapkan, sepanjang tahun 2015 sedikitnya ada 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 40 kasus. Lebih menarik lagi, pelaku kekerasan terbanyak dilakukan kepolisian, dengan 14 kasus (tahun lalu 7 kasus kekerasan oleh polisi). Disusul orang tidak dikenal 7 kasus, satuan pengaman 5 kasus, warga biasa 4 kasus, bupati 3 kasus, PNS dan mahasiswa masing-masing 2 kasus dan lain-lain.
"Tahun ini sangat mundur soal kebebasan pers. Kekerasan meningkat, upaya mengkriminalisasi jurnalis makin banyak. Sejumlah kebijakan juga tidak mendukung kebebasan pers. Padahal di 2014, saat isu-isu politik sangat kuat, pemilu legislatif dan pilpres, namun dibandingkan tahun lalu, kekerasan tahun ini justru meningkat," ungkapnya.
Mengingat masih banyak catatan kekerasan dan isu kebebasan pers agar menjadi lebih baik pada tahun berikutnya, AJI memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah untuk mengatasi permasalan tersebut.
"Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis agar kebebasan pers dan bereskpresi tidak semakin memburuk, penegasan Polri sebagai pelindung masyarakat termasuk jurnalis. Karena kasus kekerasan kepada jurnalis yang dilakukan oleh pihak kepolisian ini menempati posisi pertama, ada 14 kasus padahal mereka sebagai penjaga kebebasan itu," tegasnya.
Kedua, presiden perlu memastikan agar Kapolri revisi UU ITE agar tidak mengekang kebebasan pers dan berpendapat mampu membedakan hate speech, pencemaran dan penghinaan serta kritik terhadap penyelenggaraan bernegara.
Ketiga, pembenahan pendidikan terhadap aparat kepolisian dengan memasukkan prinsip kebebasan pers dan kebebasan berpendapat dalam kurikulum.
Keempat, perbaikan peradilan internal polri terhadap pelaku kekerasan terhadap pers dan menyelesaikan kasus pembunuhan kepada wartawan.
Kelima, memerintahkan Kapolri untuk berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk kasus sengketa pemberitaan berdasarkan MoU 01/DP/MoU/II/2012.
"Itu contohnya Setya Novanto yang melaporkan wartawan terkait pemberitaan kepada Bareskrim dam Dewan Pers menurut kami itu salah alamat. Apa yang menyangkut tentang wartawan dan pemberitaan seharusnya ke Dewan Pers dan diselesaikan dengan UU Pers. Itu salah alamat," tegasnya.
Keenam, perusahaan-perusahaan pers memperbaiki kesejahteraan jurnalis dan kontributor, mendukung keberadaan serikat pekerja, mengutamakan dialog dan mengupayakan perjanjian kerja bersama dengan serikat pekerja.
Ketujuh, jurnalis-jurnalis Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme dam etika dengan mengikuti pelatihan dan pendidikan serta uji kompetensi.