Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino mengkritik kinerja panitia khusus (Pansus) Pelindo II DPR. Menurutnya, pansus ternyata tidak mengungkapkan fakta-fakta detil terkait perpanjangan kontrak antara Pelindo II dan Hutchison Port Holding (HPH) di PT Jakarta International Container Terminal (JICT).
Lino menyebut ada sejumlah fakta penting terkait perpanjangan kontrak kerjasama ini justru coba ditutup-tutupi oleh Pansus Pelindo II.
Pertama, terkait hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut perpanjangan kontrak di JICT. Dalam hasil auditnya nomor 48/AUDITAMA VII/PDTT/12/2015 yang diterima Pelindo II pada tanggal 1 Desember 2015, BPK tidak menyebut adanya kerugian negara dalam perpanjangan kontrak JICT.
BPK hanya meminta kepada Pelindo II untuk segera mengambil alih kontrol manajemen di PT JICT. Dan Permintaan BPK tersebut sejatinya sudah dijalankan oleh Pelindo II. Sejak 6 Juli 2015 kepemilikan saham Pelindo II telah berubah, dimana Pelindo menguasai 50,9% saham, HPH 49% saham dan Kopegmar 0,1% saham.
Perubahan kepemilikan saham itu dilakukan menyusul right issue yang dilakukan JICT, dimana Pelindo II menjadi mayoritas. Sejalan dengan perubahan kepemilikan saham, Pelindo II telah mengganti direksi dan komisaris di JICT pada 6 Juli lalu.
Kedua, soal pelanggaran UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. BPK tidak mempermasalahkan implementasi Pasal 344 ayat (3) terkait konsesi dalam proses perpanjangan kerja sama pengelolaan JICT dan TPK Koja.
UU 17/2008 Pasal 344 ayat 3 hanya menunjuk Pasal 90 terkait lingkup Badan Usaha Pelabuhan, mengatur secara tegas bahwa pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh badan usaha milik negara (BUMN) Kepelabuhanan tetap diselenggarakan oleh BUMN kepelabuhanan dimaksud. Ketentuan ini memberikan pelimpahan secara langsung kepada Pelindo I, II, III, dan IV dalam penyelenggaraan kegiatan pengusahaan pelabuhan. Artinya, Undang-Undang Pelayaran khususnya Pasal 344 menyatakan bahwa Pelindo I, II,III dan IV mendapat perlakuan khusus berupa konsesi yang diberikan langsung oleh undang-undang (concession by law).
"Jika perpanjangan JICT dianggap tidak sah karena dilakukan sebelum mendapat konsesi, maka pengelolaan pelabuhan oleh Pelindo I, II, III, dan IV sejak 2011 sampai dengan November 2015 juga dapat dianggap ilegal,” kata Lino dalam keterangan resmi, Kamis (17/12/2015).
Ketiga, Dalam perpanjangan kontrak JICT, tidak ada transaksi penjualan saham. Penjualan saham JICT telah berlangsung pada tahun 1999 saat Grosbeak, yang kemudian menjadi Hutchison Port Holding (HPH), membeli saham JICT melalui proses divestasi. Proses yang terjadi saat ini adalah penerbitan saham baru yang diserap oleh Pelindo II dan Kopegmar, sehingga terjadi dilusi terhadap porsi kepemilikan saham HPJ di JICT.
Pembayaran uang muka kontrak (upfront fee) sebesar USD 215 juta tidak bisa diartikan sebagai transaksi penjualan saham JICT. Karena ini sifatnya hanya perpanjangan kontrak kerjasama. Bahkan HPH berani membayar upfront fee dan menaikkan biaya sewa dari semula USD 40 juta menjadi USD 85 juta per tahun, empat tahun lebih cepat daripada kontrak yang berakhir di 2019.
BERITA TERKAIT
Ribuan Buruh Bongkar Muat Pelabuhan Tanjung Priok Tak Dukung RK-Suswono, Ini Alasannya
15 November 2024 | 13:04 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI