Suara.com - Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan untuk menetapkan keputusan final kasus pelanggaran etika Setya Novanto dalam skandal Papa Minta Saham masih menyisakan cerita.
Sidang kemarin sempat diskors, bertepatan waktu ibadah Maghrib. Sidang kemudian dilanjutkan malam harinya untuk mendengar pandangan hakim MKD yang masih tersisa guna melengkapi pandangan MKD terkait bobot pelanggaran etika Novanto. Pandangan yang sudah disampaikan para hakim semua berkisar pada tuntutan sanksi sedang dan sanksi berat buat Novanto.
Yang menarik perhatian dalam peradilan MKD kemarin malam yakni perputaran arah yang diperagakan beberapa hakim MKD, khususnya yang selama ini dikenal sebagai kolega Novanto.
Di luar dugaan, mereka yang selama ini getol membela Novanto ternyata kompak menyatakan Novanto bersalah. Tak tanggung-tanggung, mereka justru menganggap pelanggaran etika Novanto tergolong pelanggaran berat dan harus diusut lebih lanjut melalui panel DPR. Sebaliknya, hakim-hakim MKD yang selama ini konsisten menyebut Novanto bersalah, justru menuntut diterapkannya sanksi sedang.
Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, Center for Democracy and Leadership Research, Hanta Yudha, menyebut turbulensi sikap para hakim MKD tak lepas dari rancangan siasat masing-masing kubu. Sebagaimana diketahui, dalam proses peradilan etika terhadap Ketua DPR di MKD ada dua kubu, yakni kubu membela Novanto serta kubu yang bersikap kritis terhadapnya.
“Jika keputusan akhir sidang MKD memutuskan Setya Novanto dijatuhi sanksi berat, maka prosesnya akan sangat panjang,” kata Hanta, Kamis (17/12/2015).
BACA JUGA:
Mulan Jameela Blak-blakan, Ini Pesan Maia
Keputusan itu, menurut Hanta, bisa berlanjut pada perpanjangan sidang hingga dua atau tiga kali, yang akan memakan waktu sekitar tiga bulan. Dengan pertimbangan itu, tak heran jika pihak yang selama ini bersikap lunak terhadap Novanto justru memutuskan sanksi berat. Tak lain dan tak bukan, tujuannya agar persidangan berakhir mengambang, dan dibentuk panel DPR untuk menindaklanjuti proses peradilan etika Novanto. Dengan hasil seperti itu, Novanto tak perlu buru-buru menanggalkan jabatannya selaku Ketua DPR.
Ketentuan terkait sanksi ringan, sedang dan berat terhadap pelaku pelanggaran etika itu sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 20144 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD. Pasal 39 ayat 1 UU MD3 menyebut jika MKD menangani kasus pelanggaran kode etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian, MKD harus membentuk panel yang bersifat Ad Hoc. Persoalannya, tindak lanjut peradilan MKD melalui panel ini pun masih abu-abu. Hal itu terlihat dalam pasal 41 ayat 5 UU MD3 yang menyebut bahwa panel akan menetapkan dua kemungkinan atas keputusannya. Kemungkinan pertama, panel menyatakan teradu tak terbukti melanggar, atau kedua, panel menyatakan teradu terbukti melanggar.