Kasus dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh Ketua DPR Setya Novanto untuk meminta saham PT Freeport Indonesia terkait perpanjangan kontrak karya terus bergulir. Kini kasus itu dalam proses sidang etik Setnov di Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dan penyelidikan dugaan pemufakatan jahat korupsinya oleh Kejaksaan Agung.
Kasus itu sudah menjadi pertarungan para elit politik, dan sejumlah pihak terkait disinyalir belum berani mengungkapnya secara terang benderang. Sejumlah saksi berpotensi mendapatkan ancaman dan intimidasi dalam kasus ini.
Namaun terkait hal itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) belum menerima permohonan perlindungan dari saksi.
"Terkait kasus Setya Novanto itu belum ada (minta perlindungan). Memang katanya ada yang akan minta perlindungan, tetapi sampai sekarang belum ada," kata Abdul Haris Samendawai, Ketua LPSK kepada Suara.com di Jakarta, Senin (14/12/2015).
Seperti diketahui, kasus Novanto terungkap setelah Menteri ESDM Sudirman Said melaporkannya ke Mahkamah Kehormatan Dewan pada Senin (16/11/2015) karena diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika meminta saham kepada PT. Freeport Indonesia sebagai imbalan atas andil memperpanjang kontrak karya.
Suara.com - Saat ini, kasus tersebut juga sedang diproses Kejaksaan Agung karena diduga ada pemufakatan jahat yang dilakukan Novanto dan Riza Chalid.
Saat ini MKD tengah memeriksa Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan sebagai saksi. Dia dimintai keterangannya terkait namanya yang disebut sebanyak 66 kali dalam rekaman pembicaraan Setnov dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dan M. Riza Chalid.