Suhardiman, Politisi dengan Indera Keenam

Senin, 14 Desember 2015 | 12:34 WIB
Suhardiman, Politisi dengan Indera Keenam
Tokoh pendiri ormas sayap Golkar, Suhardiman, wafat [suara.com/Nikolaus Tolen]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kepergian politikus senior Mayjen Purn Suhardiman mendapat perhatian banyak pihak. Presiden Joko Widodo hingga para politikus khususnya Partai Golkar mendatangi rumah duka.

Sementara itu, saat ini semakin banyak tokoh-tokoh penting, baik dari Golkar maupun di luar Golkar yang mendatangi rumah duka. Sebelumnya sudah ada, Agung Laksono, Tantowi Yahya, Maurar Sirait, Fadel Muhamad, Laurens Siburian.

Seperti diketahui, pada pukul 12.15 WIB Senin dini hari tadi, Suhardiman menghembuskan nafas terakhirnya. Rencanaya, pada pukul 12.30 WIB nanti, jenazah Almarhum Suhardiman akan diberangkatkan ke Pemakaman Keluarga Kilometer 84 Evergreen, Puncak, Bogor Bogor untuk segera dimakamkan di sana.

Almarhum Suhardiman lahir di Gawok, Solo, 16 Desember 1924. Dalam dunia politik Indonesia, almarhum dijuluki dukun politik, karena dianggap memiliki kecerdasan dan ketajaman intuisi, dalam wujud indera keenam memprediksi perkembangan politik Indonesia jauh ke depan.

Suhardiman juga dikenal sebagai tokoh politik berjiwa negarawan, dengan visi dan misi politiknya tercermin dalam dinamika perjuangan SOKSI, yang didirikan dan dipimpinnya puluhan tahun.

Suhardiman, melalui SOKSI, dikenal sebagai pencetak kader pemimpin bangsa yang berjiwa kebangsaan dan negarawan.

Almarhum dikenal memiliki intuisi politik yang ditindaklanjuti dengan analisis secara rasional. Aneka pemikiran tentang pembentukan kekuatan bangsa sebagai tujuan yang kedua dari pembangunan politik, yang oleh Suhardiman disebut sebagai Trisula Politik. Yakni Power, Hukum dan Demokrasi.

Suhardiman mendorong adanya upaya modernisasi, rasionalisasi dan dinamisasi diterapkan dalam berbagai kelembagaan politik, pendidikan politik, dan pimpinan politik sebagai prasarana dalam pembangunan politik. Prasarana kelembagaan ini tidak bisa diartikan secara sempit hanya sebagai sosok fisik organisatoris, melainkan harus diartikan secara luas menyangkut sosok sosiokulturalnya.

Suhardiman sendiri sempat mengeluhkan terancamnya jati diri Indonesia dalam era modernisasi. Reformasi yang berlangsung sejak 1988, dalam pengamatan Suhardiman belum menampakkan jati diri dan arah tujuan Indonesia masa depan. Dia melihat perlunya reformasi jilid dua untuk lebih mempertegas jati diri dan tujuan masa depan Indonesia.

Di sisi karir, setelah lulus sebagai Sarjana ekonomi dari FEUI Jakarta pada 1962, Almarhum belajar hingga meraih gelar doktor Ilmu Administrasi Niaga dari Universitas 17 Agustus, Jakarta pada 1971.

REKOMENDASI

TERKINI