Pemerintah Indonesia didesak tidak memperpanjang kontrak karya PT. Freeport Indonesia pada tahun 2021 nanti.
Desakan tersebut disampaikan para pemuda yang tergabung dalam Front Nasionalisasi Freeport dalam aksi damai di acara car free day yang berlokasi di Bundaran Hotel Indonesia, Jalan M. H. Thamrin, Jakarta, Minggu (13/12/2015). Mereka membagi-bagikan bunga kepada warga yang tengah menikmati hari bebas kendaraan bermotor.
Juru bicara Front Nasionalisasi Freeport Sari Wijaya mengatakan sejak 1967, perusahaan asal Amerika Serikat tersebut mengeksploitasi emas dan tembaga di Papua. Tapi, katanya, hasil kekayaan alam yang melimpah ruah tidak pernah menyejahterakan orang Papua.
"Hasil eksploitasi kekayaan alam di Papua oleh PT. Freeport tidak pernah ke masyarakat. Bahkan sampai sekarang masyarakat di Bumi Cenderawasih itu semakin dipinggirkan. Maka dari itu operasi Freeport di Papua harus dihentikan sekarang juga," kata Sari kepada Suara.com.
Sari juga menyinggung persidangan kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden saat minta saham Freeport oleh Ketua DPR dari Golkar Setya Novanto di Mahkamah Kehormatan Dewan. Dalam persidangan, kata Sari, persoalan pokok warga Papua tidak tersentuh.
Kasus Ketua DPR minta saham Freeport, kata Sari, menunjukkan bahwa masyarakat hanya dijadikan penonton yang tidak memiliki hak politik dalam menentukan kedaulatan sendiri. Padahal UUD 1945 tegas mengamanatkan, kekayaan alam Indonesia harus dikuasai negara untuk kesejahteraan rakyat.
"Kami bosan dengan hiruk pikuk elit politik parlemen dengan pemerintah, mereka rakus dan curang. Mereka telah menggadaikan negara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Oleh karena itu solusinya adalah negara harus mengambil alih dengan nasionalisasi Freeport Indonesia," katanya.
Front Nasionalisasi Freeport merupakan aliansi kelompok pemuda kritis yang resah atas kondisi negara mereka. Anggota front memiliki latar belakang profesi yang berbeda, yakni mahasiswa, guru, dan akademisi.
Desakan tersebut disampaikan para pemuda yang tergabung dalam Front Nasionalisasi Freeport dalam aksi damai di acara car free day yang berlokasi di Bundaran Hotel Indonesia, Jalan M. H. Thamrin, Jakarta, Minggu (13/12/2015). Mereka membagi-bagikan bunga kepada warga yang tengah menikmati hari bebas kendaraan bermotor.
Juru bicara Front Nasionalisasi Freeport Sari Wijaya mengatakan sejak 1967, perusahaan asal Amerika Serikat tersebut mengeksploitasi emas dan tembaga di Papua. Tapi, katanya, hasil kekayaan alam yang melimpah ruah tidak pernah menyejahterakan orang Papua.
"Hasil eksploitasi kekayaan alam di Papua oleh PT. Freeport tidak pernah ke masyarakat. Bahkan sampai sekarang masyarakat di Bumi Cenderawasih itu semakin dipinggirkan. Maka dari itu operasi Freeport di Papua harus dihentikan sekarang juga," kata Sari kepada Suara.com.
Sari juga menyinggung persidangan kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden saat minta saham Freeport oleh Ketua DPR dari Golkar Setya Novanto di Mahkamah Kehormatan Dewan. Dalam persidangan, kata Sari, persoalan pokok warga Papua tidak tersentuh.
Kasus Ketua DPR minta saham Freeport, kata Sari, menunjukkan bahwa masyarakat hanya dijadikan penonton yang tidak memiliki hak politik dalam menentukan kedaulatan sendiri. Padahal UUD 1945 tegas mengamanatkan, kekayaan alam Indonesia harus dikuasai negara untuk kesejahteraan rakyat.
"Kami bosan dengan hiruk pikuk elit politik parlemen dengan pemerintah, mereka rakus dan curang. Mereka telah menggadaikan negara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Oleh karena itu solusinya adalah negara harus mengambil alih dengan nasionalisasi Freeport Indonesia," katanya.
Front Nasionalisasi Freeport merupakan aliansi kelompok pemuda kritis yang resah atas kondisi negara mereka. Anggota front memiliki latar belakang profesi yang berbeda, yakni mahasiswa, guru, dan akademisi.