Secara legal hak politik perempuan lebih terbuka, terutama paska amandemen UUD NRI keempat dan disahkannya UU Politik terkait tindakan khusus sementara kuota minimal 30% keterwakilan perempuan di lembaga politik. Namun, dalam realitasnya perempuan yang mencalonkan sebagai kepala daerah yakni 123 orang (7,48%) yang terdiri calon kepala daerah perempuan 57 orang (6,93%) dan calon wakil kepala daerah 66 orang (8,03%). Sementara jumlah laki-laki sebanyak 1.521 orang (92,52%). Jumlah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang laki-laki dan perempuan sebanyak 1,644. (sumber: Data KPU 2015)
Azriana, Ketua Komnas Perempuan mengemukakan temuan pihaknya dari berbagai konsultasi, pengaduan maupun temuan di daerah, mendapati bahwa realitas di lapangan, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah perempuan mendapati tekanan, ancaman ataupun teror yang berbeda dengan calon laki-laki. Akses politik perempuan juga terhambat dengan budaya politik maskulin, yang sering kali meminggirkan perempuan. Perempuan yang bisa mencalonkan dalam pemilu-pemilukada harus menghadapi tantangan berlapis. Perempuan yang diperhitungkan oleh partai maupun konstituen adalah mereka yang punya hubungan genealogis dengan tokoh berpengaruh, punya kapital ekonomi yang besar, punya popularitas dan punya estetika fisik yang kerap dipolitisasi. "Calon-calon pemimpin perempuan yang potensial tetapi tidak punya modalitas di atas, kerap tidak bisa mendapatkan hak politiknya untuk dipilih," kata Azriana dalam keterangan tertulis, Selasa (8/12/2015).
Suara.com - Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam konteks pemilu atau pemilukada, perempuan dijadikan gratifikasi seksual untuk lobi politik atau menjatuhkan lawan, aksesibilitas perempuan yang rentan diskriminasi juga terbatas untuk bisa memilih (seperti : perempuan dengan disabilitas, Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan buruh migran yang tidak selalu dapat akses bermobilitas, perempuan di kepulauan, lansia, dll). Selain itu juga penghambatan hak politik bagi kelompok agama/keyakinan/etnik dengan politisasi agama dan syiar kebencian, hanya karena berbeda pilihan politik, dll.
"Padahal, Indonesia sudah tiga puluh satu (31) tahun lalu telah mengesahkan ratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita melalui UU No. 7 Tahun 1984. Dalam pasal 7 tegas dinyatakan bahwa dilarang terjadinya tindakan diskriminasi terhadap perempuan di lembaga politik atau publik dan perlunya langkah-langkah khusus untuk menghapus diskriminasi tersebut. (UUD NRI pasal 28 H ayat 2)," ujar Azriana.
Untuk itu Komnas Perempuan menyampaikan sikap dan rekomendasi sebagai berikut:
1. Negara harus menjamin hak politik perempuan untuk memilih dan dipilih dengan mencegah tindakan syiar kebencian, diskriminasi berbasis gender, etnis, dan lainnya maupun politisasi yang ditujukan kepada calon kepala daerah dan wakil kepala daerah perempuan .
2. Bawaslu berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum bagi pihak-pihak yang melakukan kejahatan dalam proses pemilukada dengan tidak memperhatikan kepentingan demokrasi dan keadilan dan memicu kekerasan.
3. KPU sebagai badan penyelenggara pemilu hendaknya memastikan proses pemilu yang adil gender, terakses bagi kelompok-kelompok disabilitas, masyarakat adat, PRT, masyarakat di kepulauan, lansia, dan lain-lain.
4. Mengajak kepada masyarakat luas untuk :
a. Memilih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan berdasarkan;
1. Memiliki pakta integritas anti kekerasan terhadap perempuan;
2. Bukan pelaku kekerasan atau pernah terlibat dalam kekerasan baik di publik dan di ranah domestik;
3. Pluralis dan demokratis, berkomitmen pada keragaman dan kebhinnekaan;
4. Tidak terindikasi korupsi dan berkomitmen pada pemberantasan korupsi, termasuk tidak melakukan money politics;
5. Punya keberpihakan dan komitmen pada isu-isu perempuan;
6. Memprioritaskan memilih calon perempuan yang memiliki kriteria diatas.
b. Melaporkan pelanggaran kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan baik pada kandidat perempuan , proses pemilu dengan memastikan aksesibilitas pada kelompok rentan diskriminasi (disabilitas, PRT, lansia, dan lain-lain) dan dampak pemilukada tersebut kepada Bawaslu.
5. Menghimbau media untuk membuat pemberitaaan yang kondusif, mencegah kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pemilukada, dan memberitakan pelanggaran-pelanggaran HAM perempuan, baik viktimisasi pada calon perempuan, termasuk aksesibilitas kelompok rentan diskriminasi untuk dapat memilih dan dipilih, serta memastikan tidak menjadi korban kekerasan atas nama politisasi agama, gender, ras dalam konteks pemilukada.