Suara.com - Ketua DPR Setya Novanto menolak disebut pemburu rente, serta berkelit dari semua dugaan pelanggaran etika yang tersirat dari proses persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebelumnya.
Jurus mengelak itu disampaikan Setnov kepada 17 anggota MKD dalam agenda persidangan Senin (7/12/2015). Sebaliknya, dengan penuh keyakinan, Setnov menilai bukti rekaman berdurasi 1 jam 20 menit yang diserahkan Sudirman Said itu tidak bisa menjadi acuan, karena dianggap ilegal.
Menanggapi hal itu, pengamat politik Yunarto Wijaya menilai bantahan Ketua DPR itu bermaksud mencari dukungan dari publik. Hanya saja menurutnya, publik saat ini tak membutuhkan sanggahan itu.
Sebaliknya, publik tengah menunggu kebenaran terkait motif di balik pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam renegosiasi kontrak PT Freeport tersebut. Poin penting lain yang diinginkan publik adalah pembuktian hakim di MKD mengenai potensi korupsi yang dilakukan ketua DPR.
Pembuktian atas pernyataan Setnov, menurut Direktur Charta Politika, ini bisa dilakukan secara sederhana yakni melalui pembuktian forensik keaslian rekaman. Dengan begitu, pembenaran atas keaslian rekaman itu bisa menjadi bukti kuat atas tindakan Setya yang tak patut itu.
Pengamat yang akrab disapa Toto ini juga menilai, dengan alasan apa pun Setnov membela diri, secara tak langsung itu justru mengafirmasi dugaan pelanggaran yang dia lakukan. Hal ini bisa dilihat dari pernyataannya di beberapa kesempatan yang menyebut pembicaraan seperti digambarkan oleh rekaman itu ada, tapi tak pernah mencatut nama Presiden. Di sisi lain, Setnov juga menyebut bahwa tindakannya itu sebatas candaan saja.
"Di situ tersirat penyataan bahwa dia (Setya Novanto) bertemu dengan Jim Bob, bos besar Freeport dari Amerika Serikat (AS). Apakah pantas atau tidak, kita harus teliti lebih dalam. Apakah pertemuan itu juga masuk dalam kategori etis atau tidak?" ujar Toto, sebagaimana dikutip salah satu rilis dari Fraksi Nasdem.
Terkait pelaksanaan sidang MKD secara tertutup pada Senin ini, Toto menyayangkan keputusan MKD tersebut. Keputusan itu menurutnya diambil justru di saat publik sangat antusias ingin menyimak jalannya proses penegakan etika DPR.
"Dengan menetapkan sidang tertutup, MKD sudah menutup upaya publik untuk mencari fakta itu (dugaan pelanggaran etika)," tukasnya, saat ditemui di depan ruang sidang MKD, Senin (7/12).
Sementara itu, Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Raja Juli Antoni, menyebut keputusan MKD menetapkan sidang tertutup kali ini sebagai tindak pembodohan publik. Dia menilai, proses persidangan MKD seharusnya bisa diakses masyarakat luas, dan bisa menjadi bagian dari keterbukaan informasi publik.