Suara.com - Ribuan buruh akan menyambangi Gedung DPR guna menuntut dewan membentuk panitia khusus tentang pengupahan untuk menolak Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, Selasa (8/12/2015) besok.
"Buruh mendesak DPR segera membentuk pansus pengupahan. Tuntutan lainnya, masih sama dengan saat mogok nasional yang lalu," kata Presidium Gerakan Buruh Indonesia (GBI) Said Iqbal melalui siaran pers diterima di Jakarta, Senin (7/12/2015).
Iqbal yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengatakan buruh menuntut PP tentang Pengupahan dicabut karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Iqbal menuding PP tentang Pengupahan dibuat berdasarkan intervensi dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) serta menduga ada korupsi politik dalam proses pembuatannya.
"Serikat pekerja juga tidak dilibatkan dalam pembuatan PP Pengupahan yang sangat berpengaruh bagi kesejahteraan pekerja," ujarnya.
Menurut Iqbal, pekerja dan buruh menolak formula kenaikan upah minimum yang ada pada PP Pengupahan yang hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
"Formula tersebut mengembalikan Indonesia pada rezim upah murah dan akan memiskinkan kaum pekerja dan buruh secara struktural," tuturnya.
Iqbal mengatakan buruh menuntut kenaikan upah minimum 2016 berkisar Rp500 ribu dan kenaikan upah minimum sektoral lebih besar dari kenaikan upah minimum.
Sedangkan terhadap keputusan upah minimum yang sudah ditetapkan beberapa daerah, Iqbal mengatakan buruh menuntut dibatalkan karena tidak berbasis kebutuhan hidup layak (KHL) sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Setelah melakukan aksi di gedung DPR, massa buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Upah GBI akan melanjutkan aksi di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta untuk menuntut komisi tersebut agar mengusut dugaan korupsi Freeport dan PT Pelindo II.