Suara.com - Di penghujung akhir 2015, gonjang-ganjing perpolitikan di tanah air menggeliat kembali tatkala Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkan adanya rekaman perbincangan antara Setya Novanto, pengusaha M Reza Chalid dan Maroef Sjamsoeddin, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Saat ini rekaman itu masih bersifat dugaan dan belum mengarah kepastian adanya kesalahan etika mengingat belum adanya keputusan final apakah dalam rekaman itu merupakan pelanggaran etika. Namun di satu sisi, media cetak, televisi dan elektronik begitu semakin gemar "menelanjangi" seseorang yang tidak disukai.
Hingga saat ini juga belum ada kepastian apa dibalik niat Menteri ESDM melaporkan rekaman itu yang diduga juga tidak dilaporkan sebelumnya kepada Presiden RI Joko Widodo.
Namun hal itu sudah menjadi lazim di negara tercinta ini.
Di tengah MKD mengorek kebenaran rekaman skandal Freeport itu, Kejaksaan Agung langsung membuat gebrakan dengan memeriksa Presdir PT Freeport Indonesia bahkan menyita bukti rekamannya hingga MKD pun terganggu di dalam menjalankan persidangan etikanya tersebut.
Entah Kejagung mendapatkan "mainan" baru mengingat sebulan terakhir, instansi yang dipimpin eks politisi Partai Nasdem itu, dihajar habis-habisan oleh "sebagian" media dalam kasus dugaan korupsi dana Bansos yang menyeret petinggi Partai Nasdem, Patrice Rio Capella dan OC Kaligis.
Namun Jaksa Agung Republik Indonesia, HM Prasetyo membantah jika penyelidikan terhadap kasus rekaman Freeport yang memeriksa petinggi perusahaan tambang di Indonesia itu, berbau politis.
"Kita penegak hukum, kita akan lakukan secara objektif, proporsional dan profesional," katanya.
Bahkan Kejaksaan Agung langsung gerak cepat dengan menyatakan akan memeriksa Menteri ESDM Sudirman Said dan M Reza Chalid. Memang di satu sisi terdapat keanehan kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan, namun seolah-olah sudah memasuki ranah penyidikan hingga menambah gonjang-ganjing dunia politik di tanah air.
Tidak tanggung-tanggung Kejagung memberi sinyal kasus itu bisa ditingkatkan ke penyidikan dengan mengaitkan adanya pemufakatan jahat yang merupakan tindak pidana korupsi sesuai pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal tersebut diamini oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Arminsyah, yang menyatakan bisa saja dikenakan adanya pemufakatan jahat.
Di satu sisi, Kejagung belum berani menyatakan keaslian rekaman itu hingga perlu meminta bantuan kepada ahli informatika dan telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) kendati Presdir PT Freeport Indonesia dalam kesaksiannya di MKD membenarkan transkrip perbincangan itu merupakan rekaman miliknya.
"Kalau menurut yang kita dengar di sidang MKD diakui sebagai kebenaran itu. Jadi tidak ada satu pihak manapun yang tentunya harus membantah itu, tapi nanti kejaksaan akan meminta bantuan dari ahli IT di ITB Bandung, sudah dihubungi nanti kita minta untuk bantu kita, menentukan keaslian suara dan sebagainya," kata HM Prasetyo yang juga mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum).
Ia juga menyatakan pihaknya sampai sekarang masih mengevaluasi kembali hasil pemeriksaan terhadap Maroef Sjamsoeddin, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia yang dilakukan pada Jumat (4/12).
"Kita masih mau evaluasi lagi apa yang diketahui, apa yang dialami sendiri, dia dengar dan dia saksikan. Itu yang kita perlukan," katanya.
Bahkan korps Adhyaksa itu menyatakan rekaman suara kasus PT Freeport Indonesia bukanlah penyadapan namun tetap bisa dijadikan alat bukti untuk mengusutnya.
"Ini bukan penyadapan, merekam pertemuan mereka itu, kan semuanya sudah dijelaskan di MKD," katanya.
Ia menjelaskan pidana itu mencari kebenaran materiil yang penting substansinya benar atau tidak.
Dikatakan, penyadapan itu diatur oleh ketentuan seperti kejaksaan harus meminta izin dari pengadilan dan berbeda halnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang setiap saat bisa melakukan penyadapan.
Ia mengatakan Maroef Sjamsoeddin, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia tidak memiliki kompetensi untuk menentukan soal keabsahan rekaman tersebut seperti saat proses meminta keterangan di MKD.
Adanya dugaan nanti kita yang akan menentukannya, kalau kita ke arah masalah kriminalitas atau tidak, katanya.
Polri belum usut Sementara itu, Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengatakan pihaknya belum bisa ikut mengusut kasus yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto dengan PT Freeport Indonesia.
Alasan Badrodin, antara lain karena Mahkamah Kehormatan Dewan masih bersidang, penyelidikan Kejaksaan Agung belum sampai pada kesimpulan ada tidaknya tindak pidana, serta perlunya kerja sama dari PT Freeport agar Polri bisa bertindak.
"Tadi saya tanyakan ke Jamintel (Jaksa Agung Muda Intelijen) ini masih dalam penyelidikan itu artinya masih mencari fakta-fakta hukum, MKD juga kan belum, dari pihak PT Freeport kan juga belum," kata Badrodin seusai menghadiri acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di gedung parlemen, Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan apabila Kejaksaan Agung telah menyimpulkan, atau dalam persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan diketahui ada tindak pidana umum dalam kasus Novanto dan Freeport, baru lah kepolisian akan turun tangan.
Di sisi lain, kata Badrodin, apabila PT Freeport selaku pihak yang dirugikan dalam kasus ini mau bekerja sama, maka Polri bisa bergerak.
"Kita perlu kerja sama, kalau PT Freeport tidak mau kan juga tidak bisa kita tangani. Bukan soal ada tidaknya laporan, tapi perlu ada kerja sama dengan PT Freeport, bagaimana mungkin kita menangani kasus kalau yang dirugikan sendiri tidak bersedia," ucap Badrodin.
Ia juga berpendapat bahwa ada permufakatan jahat dalam isi rekaman pembicaraan yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha M. Riza Chalid dalam kasus pencatutan nama presiden dan wapres terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
"Kalau itu, bisa (disimpulkan) permufakatan jahat," kata Badrodin di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (4/12/2015).
Kendati demikian, pihaknya masih akan menunggu hasil sidang MKD.
"Kan itu ada persepsi antara Pak Maroef, SN dan MR, harus dikonfrontir kan mana yang benar, jadi kami menunggu itu," ujarnya.
Adanya perbedaan dari sikap Kejagung dan Kepolisian dalam penanganan kasus tersebut, di satu sisi menimbulkan pertanyaan apakah Kejagung mencuri "start" penanganan kasus tersebut? Terlepas dari itu, publik pun berharap Kejagung benar-benar serius menyelidiki kasus tersebut bukannya untuk menjadikan "barang mainan" baru belaka. (Antara)