Suara.com - Truk putih terbuka beratap cokelat melaju pelan menyusuri jalanan menuju Masjid Koudoukou, Bangui, Republik Afrika Tengah. Paus Fransiskus berdiri di atasnya, melambaikan tangan pada warga yang berjejer melambai-lambaikan bendera putih, tanda perdamaian.
Ribuan pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa berjaga di jalanan. Senapan AK-47 tak lepas dari genggaman, ketika Fransiskus tiba di salah kawasan paling berbahaya di dunia, untuk menyampaikan pesan perdamaian kepada kelompok Kristen dan Muslim yang sudah terlibat konflik berdarah selama dua tahun terakhir.
Belum ada paus lain dalam beberapa tahun terakhir yang berani terjun ke tengah daerah konflik. Ketika Fransiskus tiba di Masjid Koudoukou, ia disambut oleh para pemimpin umat Muslim setempat dan anak-anak kecil.
Setibanya di dalam masjid, Paus Fransiskus membungkukkan tubuhnya ke arah kiblat, sebelum duduk bersama di atas sebuah sofa putih di samping Imam Masjid.
"Umat Kristen dan Muslim adalah saudara," kata dia dalam pidatonya, yang disiarkan melalui sejumlah pengeras suara di luar masjid, "Karenanya, pikiran dan tingkah laku kita juga harus mencerminkan persaudaraan."
Sebelum kunjungan ke Afrika Tengah digelar, banyak yang ragu dia akan berani menginjakkan kaki di PK-5, nama kawasan yang menjadi tempat perlindungan terakhir komunitas Muslim Afrika Tengah.
Pasukan perdamaian PBB mengatakan mereka tak bisa menjamin keamanan Fransiskus jika dia berani memasuki kawasan itu. Pertempuran masih berlangsung hingga pagi, sebelum mobil kepausan memasuki lingkungan itu.
Tetapi ketika ia datang, kerumunan warga memadati jalan, berbaris di depan bekas kantor dan sekolah yang kini tutup. Sebagian besar dari mereka tampaknya berharap, kunjungan Fransiskus bisa menjadi awal perubahan yang mengarah pada perdamaian atau setidaknya menarik perhatian dunia pada Afrika Tengah.
"Saya masih tak percaya dia datang," kata Gaspar Ndjawe, warga lokal yang menyaksikan kedatangan Paus dari pinggir ajalan.
"Kami butuh pesan harapan darinya. Warga di sini sudah lelah dengan kehidupan seperti ini," imbuh dia.
Paus Fransiskus tiba di Bangui, ibu kota Afrika Tengah pada Minggu (29/11/2015). Ia, yang dalam lawatan itu menyebut dirinya sendiri sebagai "pembawa perdamaian", sebelumnya sudah mampir ke Kenya dan Uganda.
Meski tak secara resmi mengatakan akan mengupayakan mediasi damai di Afrika Tengah, dalam kurang dari dua hari di negara itu dia telah bertemu dengan beragam pemimpin politik dan komunitas. Ia berbicara tentang upaya perdamaian.
Presiden sementara Afrika Tengah, Catherine Samba-Panza, mengatakan bahwa kunjungan Paus memberikan janji akan sebuah jalur diplomasi yang baru.
"Kami berharap kunjungan ini bisa menandai mulainya proses perdamaian," kata Samba-Panza sebelum kedatangan Paus.
Vatikan sendiri punya sejarah panjang dalam memediasi dan meredam ketegangan geopolitik di dunia. Paus Yohanes Paulus II dikenal sebagai tokoh yang mendorong negara-negara Eropa Timur untuk lepas dari Uni Soviet. Pada 2007, Paus Benediktus XVI membantu proses pembebasan 15 pelaut Inggris yang ditahan di Iran. Sementara tahun lalu Fransiskus membantu normalisasi hubungan AS dan Kuba, yang sudah bermusuhan sejak Perang Dingin.
PK-5, Simbol Kekejaman Perang Afrika Tengah
Tetapi konflik di Afrika Tengah berbeda. Konflik di salah satu negara termiskin di dunia itu seperti diabaikan oleh dunia. Memang sejak merdeka dari penjajahan Prancis pada 1958, negara itu terus diwarnai kudeta demi kudeta.
Sementara konflik di Afrika Tengah sendiri melibatkan milisi-milisi yang tak terikat pada organisasi tertentu, maka proses damai tak bisa dilakukan dengan melibatkan pertemuan tingkat tinggi di luar negeri. Fransiskus, karenanya, memilih untuk turun langsung ke daerah konflik dan mengedepankan sentuhan pribadi.
"Saya sangat berharap bahwa konsultasi-konsultasi nasional akan digelar dalam beberapa pekan ke depan, sehingga negeri ini bisa menyambut bab baru dalam sejarahnya," kata Fransiskus dalam pertemuan dengan pejabat negara itu, Minggu.
PK-5 sendiri adalah simbol paling tepat dari kekejaman perang sipil di Afrika Tengah. Sebelum konflik daerah itu dihuni oleh sekitar 122.000 warga Muslim, tetapi kini hanya sekitar 15.000 jiwa yang bertahan.
Kawasan itu adalah pusat perdagangan sebelum perang, dan kini menjadi pusat konflik antara dua kelompok milisi: Seleka, kelompok mayoritas Muslim yang pada 2012 menggulingkan Presien Francois Bozize, dan kelompok milisi Kristen, Anti-Balaka.
Konflik horizontal itu sendiri awalnya bermula dari perebutan kekuasaan dan pusat-pusat sumber daya alam, tetapi kini sudah berubah menjadi sebuah lingkaran pembunuhan brutal yang didasarkan pada perbedaan agama.
Ketika berbicara dalam Masjid Koudoukou, Fransiskus mengutuk pembunuhan-pembunuhan keji itu.
"Bersama-sama, kita harus menolak kebencian, dendam, dan kekerasan - terutama kekerasan atas dasar agama atau Tuhan," tegas Fransiskus.
Selama lebih dari satu tahun, satu kelompok yang terdiri dari ulama Kristen dan Islam telah memohon agar Fransiskus mengunjungi Bangui. Mereka yakin Fransiskus bisa mengakhiri konflik, setelah PBB gagal mendamaikan kedua pihak. Kelompok itu bertandang ke Vatikan dua kali.
"Dia adalah salah satu pemimpin religius terpenting di dunia saat ini dan ketika itu saya berpikir, ia tentu bisa membantu kami mendorong pesan perdamaian," kata Omar Kobine Layama, seorang ulama Afrika Tengah yang turut berkunjung ke Vatikan.
Membujuk para milisi untuk meletakan senjata bukan perkara mudah. Tetapi setelah pesawat kepausan membawa pulang Fransiskus ke Roma pada Senin, tanda-tanda kecil yang menunjukkan kemajuan sudah mulai tampak.
Milisi-milisi anti-Balaka yang biasanya menutup akses keluar masuk PK-5 kini tak lagi berjaga. Kini lebih mudah bagi warga Muslim untuk bergerak di kota itu ketimbang waktu-waktu sebelumnya.
Para pengemudi taksi Kristen mulai menerima penumpang Muslim. Dua lelaki juga terlihat duduk di dekat batas kawasan Muslim dan Kristen.
"Mungkin para milisi serius mendengar pesan Paus," kata Abdul Karim Issa (30), warga PK-5.
"Saya berharap akan terus begini, tetapi saya tidak tahu juga," lanjut Musa Mohammed (31).
Tetapi ujian terhadap perdamaian di Afrika Tengah akan segera datang pada Desember ini, tepatnya ketika pemilihan umum.
Beberapa kandidat, termasuk mantan presiden Bozize, ikut mencalonkan diri. Bozize adalah buronan PBB. Ia dituding melakukan kejahatan perang dan sudah disanksi PBB. Sementara beberapa kandidat lain diketahui punya hubungan baik dengan kelompok-kelompok milisi yang terlibat perang saudara di Afrika Tengah. (The Washington Post)
BERITA MENARIK LAINNYA:
Tertangkap Tangan Terima Suap, Kader PDIP Ini Dipecat
ISIS Jadikan Indonesia Sebagai Wilayah Provinsi
Namanya Disebut, Fahri Hamzah Persoalkan Perekaman Pembicaraan