Masing-masing desa berjarak sekitar setengah jam perjalanan dengan kelotok, sampai kayu berukuran 4 meter bertenaga mesin kecil untuk menyusuri sungai.
Rebutan lahan dengan PT rahasia
Misradi mengaku, awalnya warga menyambut kedatangan perusahaan sawit yang mengumbar banyak janji, salah satunya tak bakal menyerobot lahan warga.
Tapi belakangan, rebutan lahan berlangsung diantara keduanya yang bermula karena mangkirnya perusahaan dari peta arahan lokasi yang melindungi kebun dan lahan warga.
Sejak itu pula, dia langganan bolak-balik ke kota Kapuas memprotes kepada Pemerintah Kabupaten Kapuas yang memberikan izin perusahaan sawit di lahan eks PLG.
“Pemerintah kan memberikan izin arahan dari desa. Desa akhirnya membolehkan investasi sawit di atas lima kilometer dari DAS (Daerah Aliran Sungai) Kapuas, tapi ternyata ketika operasi di lapangan kurang dari 5 kilo. Itu kenapa masyarakat protes,” katanya.
Suara.com melihat langsung apa yang disampaikan Misradi saat perjalanan melalui sungai Kapuas menuju Sei Ahas. Deretan sawit tampak meluber hingga ke DAS Kapuas yang berdiri diapit dua kanal. Salah seorang warga Matangai yang menemani menyebutkan, kanal itu menjadi jalan masuk ke tengah perkebunan.
Itu baru salah satu sebab warga memprotes. Alasan lainnya yang paling penting, ujar Misradi, hilangnya ribuan hektar tanah adat dan lahan warga.
“Jadi kalau bapak dengar, wilayah Desa Sei Ahas itu 632 hektar, yang diklaim 3.292 hektar berdasarkan legalitas kelompok tani dari 4.000 yang sudah ditanam sawit,” terang Misradi.