Kasus Setnov, Pengamat: Anggota DPR Sudah Tak Punya Malu

Minggu, 29 November 2015 | 17:39 WIB
Kasus Setnov, Pengamat: Anggota DPR Sudah Tak Punya Malu
Sidang paripurna DPR [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Koalisi Bongkar Mafia Parlemen mendesak Ketua DPR dari Fraksi Golkar Setya Novanto mundur. Setya Novanto dinilai sudah menyelewengkan kewenangan dalam kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat meminta saham PT. Freeport Indonesia.

"Sidang MKD harus terbuka, karena kasus ini merupakan pelanggaran etika serius, dan menjadi ancaman serius. Apapun hasil sidang MKD, Setnov harus mundur sebagai Ketua DPR," kata peneliti lembaga Soegeng Sarjadi Syndicate, Ari Nurcahyo, di Jakarta Pusat, Minggu (29/11/2015).

Kasus Setya Novanto terungkap setelah Menteri Energi Sumber Daya Mineral Sudirman Said melapor ke Mahkamah Kehormatan Dewan. Besok, rencananya Mahkamah Kehormatan akan rapat untuk memutuskan waktu dan mekanisme sidang dugaan pelanggaran etika yang dilakukan Setya Novanto.

Menurut Ari, sebagian anggota DPR saat ini ‎tak memiliki malu. Ari mengatakan ada di antara mereka yang menjadi calo dan mafia sektor pertambangan.

"‎Anggota DPR sekarang sudah tidak punya malu. Kemaluan sebagai politisi sekarang tampaknya sudah hilang. Maka dalam kasus pencatutan nama Presiden terkait Freeport ini, Setnov harus mundur," ujarnya.

Menurut Ari, kasus Setya Novanto merupakan ancaman serius terhadap public affair.

Ari mengatakan kasus ini seharusnya menjadi pintu masuk bagi Presiden Jokowi untuk memberantas calo dan mafia bidang energi dan sumber daya mineral.

"Kasus Setnov harusnya jadi pintu masuk untuk menggulung mafia, kongkalikong, perselingkuhan dibalik layar oleh politisi yang melakukan transaksi bisnis.‎ Yang dilakukan Jokowi sudah tepat dengan serahkan ke MKD, tapi saya pikir belum cukup," katanya.

"Pemerintahan Jokowi harus tegas melakukan konsolidasi kekuasaan, karena banyak pemain yang memanfaatkan celah-celah (korupsi)," Ari menambahkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI