Suara.com - Sejumlah aparat desa dan kecamatan di Pandeglang, Banten, yang ikut mendukung penimbunan mata air dan makam yang dikeramatkan warga di Desa Cadasari untuk kepentingan PT. TFJ -- perusahaan air mineral kemasan --- ditimpa masalah.
"Dalam setahun ini, sejak warga menolak penimbunan sumber mata air dan makam keramat itu sudah sudah ada empat orang pendukung perusahaan yang meninggal dengan aneh. Percaya atau tidak percaya kenyataannya begitu, bahkan ada kepala desa yang meninggal dengan lehernya berlubang," kata Wakil Ketua Yayasan Yatim Piatu Darul Quran, Emat (50), kepada Suara.com di kantor Wahana Lingkungan Hidup, Jakarta, Kamis (26/11/2015).
Warga percaya masalah yang menimpa aparat pendukung pabrik karena kualat.
Emat menyebut aparat desa yang meninggal dunia, di antaranya Lurah Suka Indah di Kecamatan Baros, Lurah Gayam di Kecamatan Cadas Sari, serta Camat Cadas Sari.
"Mereka mendukung perusahaan Mayora (PT. TFJ) dalam pembebasan tanah warga di sekitar sumber mata air dan makam keramat. Rata-rata mereka meninggalnya aneh dan mendadak, bahkan ada yang badannya sebelah hangus, menghitam," katanya.
Emat menjelaskan makam yang dikeramatkan warga yang diurug yaitu makam Nyi Ratu Sukasalamah, Kyai Tubagus Wase, Kyai Tubagus Urip, Kyai Tubagus Abdul Hamid, dan Ki Demong.
"Petilasan itu dipercaya warga setempat sebagai makam para ulama Banten," tuturnya.
Emat mengungkapkan sejumlah aparat desa pendukung pabrik juga diserang penyakit. Ia menyebut penyakit aneh.
"Dalam perjuangan menolak aktifitas pabrik itu kami selalu berikhtiar kepada Allah SWT. Kami setiap awal bulan melakukan istighosah, yasinan dan berdoa bersama," kata dia.
Emat datang ke Walhi bersama perwakilan warga lainnya. Mereka menggelar konferensi pers mengenai permasalahan yang terjadi di desanya.
Manager Penanganan Bencana Walhi, Mukri Fritana, mengatakan operasi pabrik air mineral kemasan tersebut sudah mendapatkan izin lokasi dari Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Pandeglang pada 30 Januari 2014.
"Hal ini telah menimbulkan keresahan masyarakat dan ulama di sana, karena air yang menjadi sumber kehidupan tidak bisa lagi dimanfaatkan," kata Mukri.
Dia menjelaskan mata air yang ditimbun itu merupakan sumber kehidupan warga di lima Kecamatan di Kabupaten Pandeglang dan Serang. Sawah seluas 180 hektar terancam tidak terairi gara-gara masalah ini.
"Biasanya sawah-sawah di sana mampu berproduksi dua sampai tiga kali dalam setahun, sekarang jadi kesulitan air dan mengalami kekeringan. Kecuali musim hujan," katanya.
Masalah lain yang mengancam adalah banjir dan tanah longsor karena posisi penimbunan mata air lebih tinggi sekitar dua meter dari pemukiman penduduk dan pesantren.
"Sekarang di pemukiman warga terancam banjir dan longsor," katanya.
Ketua Nahdlatul Ulama Kabupaten Serang KH Matin Syarkowi menambahkan di sekeliling sumber mata air terdapat lima pondok pesantren yang juga merasakan kesulitan air.
"Sawah produktif ada sekitar 4 sampai 5 hektar yang ditimbun. Sumber mata air yang besar ada enam dan yang kecil banyak ditimbun oleh pihak perusahaan," kata dia.