Datuk Sweida, Potret Toleransi Keturunan Raja Kesultanan Deli

Selasa, 24 November 2015 | 06:34 WIB
Datuk Sweida, Potret Toleransi Keturunan Raja Kesultanan Deli
Datuk Sweida Zulalhamsyah. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Masa muda Anda penuh dengan sikap toleransi beragama dan suku. Bagaimana untuk saat ini? Bagaimana Anda menjalani hidup dengan sikap toleransi itu?

Yang saya syukuri, kehidupan saya seimbang. Saya dapat pendidikan formal di De Britto, begitu juga di rumah. Agama saya tetap Islam. Pendidikan saya, pendidikan De Britto. Perbedaan untuk saya bukan hal aneh. Itu jadi jadi kekuatan saya.

Saya sering diminta menjadi wali nikah. Apalagi kalau misalnya calonnya muslim, dan lelakinya Katolik. Saya pelajari undang-undang perkawinan, injil bunyinya apa? Al Quran bunyinya apa? Saya cari persamaannya. Saya bilang ini lho persamaannya. Saya resmikan bercinta mereka, daripada saya biarkan.

Apa persamaanya?

Yang paling gampang, tuhan sudah menciptakan manusia berpasangan. Di Al Quran dan Injil ada bunyinya begitu. Kita sebagai orangtua tinggal doakan saja. Saya senang sudah saya jelaskan.

Pemahaman di Islam tidak boleh menikah beda agama. Bagaimana Anda jelaskan itu?

Sewaktu mereka sudah melalui bercinta, bahkan lama toh. Mereka sudah tahu, kalau mereka akan menghadapi masalah. Hari-hari akan menghadapi masalah. Harus ada tanya jawab, bagaimana nanti? Tidak boleh saling memaksakan satu sama lain. Harus hormat sama ajaran masing-masing. Jangan paksa untuk seagama setelah menikah.

Apakah mau menukar-nukar agama hanya untuk seorang perempuan dan laki-laki? Hanya keinginan dunia. Agama itu urusan dengan tuhan. Sebagai orang Islam yang baik, jalani lah yang baik. Begitu juga sebagai Katolik. Kunci dari agama, kasih sayang dan menjadi orang yang baik. Masalah perjalannya, serahkan dengan tuhan.

Bagaimana prosesi pernikahan itu?

Itu macam-macam. Ada yang secara muslim, ada yang bersetuju secara Katolik. Sudah 4 sampai 5 pasangan yang saya nikahkan. Bahkan belum lama saat saya naik haji, saya ditelepon. Saya tidak kenal dia. Tapi dia mengaku dari angkatan De Britto, ingin meminta saran.

Bagaimana menjelaskan dengan keluarga mereka?

Alhamdulillah, semua senang. Tidak ada masalah. Nggak ada perdebatan. Saya pernah lamaran di Masjid, saya jelaskan di sana.

Ada satu masa saat ingin berhaji, Anda didoakan dengan cara Katolik di gereja. Bagaimana ceritanya?

Itu lebih dahsyat lagi. Saya didoakan di gereja saat pulang dan ingin berangkat berhaji. Mungkin cuma saya yang seperti itu.

Ceritanya, saya ingin berangkat haji. Kawan-kawan mendengar itu. Mereka pun ingin memuat misa untuk mendoakan saya berangkat haji. Begitu saya mau pulang, mereka juga menyiapkan misa yang lebih besar. Itu digelar di Bandung dan banyak yang hadir, bahkan dari Jakarta.

Seperti apa prosesinya?

Seperti misa biasa. Berkumpul dan berdoa secara Katolik.

Apa yang ada dalam benak Anda saat itu?

Saya pikir sah saja. Saya selalu bersyukur. Tuhan memberikan banyak teman. Apakah ibadah saya diterima denga didoakan dengan cara Katolik atau dengan orang lain. Memang ada yang bilang, ini ibadah haji dan saya didoakan oleh orang non muslim. Ah saya nggak pernah khawatir apakah ibadah saya sampai atau tidak ibadah saya. Itu urusan tuhan, bukan urusan saya.

Yang saya syukuri ada manusia yang baik mendoakan saya. Masih ada orang yang mau mendoakan saya dengan ikhlas. Bagaimana cara berdoa itu terserah. Cara berdoa kan beda-beda.

Saat ingin mendoakan Anda, apakah teman Anda meminta persetujuan?

Mereka sudah sangat mengenal saya. Sejak saya jadi sekjen Alumni De Brito, saya membuat kebiasaan membuat misa dalam menggelar acara De Britto. Para alumni yang beragama Katolik pada bosan. Mereka misa tiap minggu. Saya kan tidak.

Tiga kali misa itu di antaranya saat memperingati hari De Britto di Febuari, ulang tahun alumni di Agustus, dan kumpul-kumpul saat Desember di Yogya tiap 27 Desember. Jadi nyanyi-nyanyian saja. Makna misa itu untuk kumpul saja bagi saya.

Bagaimana menurut Anda keadaan toleransi di Indonesia?

Sebagai pribadi saya sangat sedih dan marah. Kawan-kawan muslim yang mengklaim dirinya paling muslim selalu bicara, “alangkah indahnya jika Indonesia itu menjadi negeri Islam”. Yang dimaksud Indonesia itu mana? Pergi saja ke kawasan timur. Apakah melihat islam di sana? Paling Islam cuma di Jawa. Apakah mereka yang di timur akan diislamkan? Akan perang negeri kita. Apakah dengan cara itu? Republik ini tercipta karena perbedaan. Sekarang ini kenyataannya, siapa manyoritas di mana. Harus kita tinggalkan, agamamu apa? Sukumu apa? Kita bangun aja sekarag negeri kita.

Isu-isu anti teleransi saat ini kebanyakan bermuatan politik dan bisnis. Padahal masyarakat kita nggak seperti itu kok. Dulu peristiwa di Ambon, di sana padahal manusia paling baik. Mereka yang ikut kerusuhan, nggak tahu itu disebabkan apa. Sudah berbunuh-bunuhan, mereka tidak tahu sebabnya. Kita harus baca sejarah.

Saat ini masalah intoleransi, yang rebut itu sangat sedikit. Tapi suara mereka keras karena diekspose besar-besaran. Karena segala peristiwa dijadikan infotainment oleh media. Itu masalahnya. Misal di media ada pengepungan teroris yang ditampilkan secara live (siaran langsung) di TV. Ini menyebabkan Islam dianggap sebagai teroris.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI