Datuk Sweida, Potret Toleransi Keturunan Raja Kesultanan Deli

Selasa, 24 November 2015 | 06:34 WIB
Datuk Sweida, Potret Toleransi Keturunan Raja Kesultanan Deli
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Berkopiyah putih, Datuk Sweida Zulalhamsyah ramah menyapa suara.com di sebuah kedai kopi di kawasan Tebet. Tidak ada pengawalan, meski Mas Datuk keturunan raja.

Tidak ada raut wajah dan kosakata yang menandakan jika Datuk keturunan raja. Yang banyak diketahui dari komunitas Sekolah Kolese De Britto Yogyakarta, dia adalah sosok yang sangat toleran.

Ayah dua anak ini adalah alumnus Kolese De Britto Yogyakarta tahun 1973. Di tengah komunitas Katolik, Datuk tetap dengan ciri khasnya mengenakan pakaian serba putih, kopyah haji dan tasbih di lengan kanannya.

Seorang muslim yang bersekolah Katolik, memang banyak. Namun unik untuk seorang keturunan Kesultanan Deli di Sumatera Utara yang kental dengan lingkungan Islami. Kerajaan itu adalah kerajaan Islam besar. Bahkan lelaki kelahiran 5 Mei 1957 itu adalah muslim pertama yang pernah memimimpin ikatan alumni Ketua Umum Ikatan Alumni SMA Kolese de Britto sejak 2006 selama 2 periode sampai 2012.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada ini keturunan dari suku kedatukan Sinembah, salah satu dari 4 kedatukan Deli yang masih bertahan di sana. Di antaranya Kedatukan Sepuluh Dua, Serbanyaman, Sinembah, dan Sukapiring.

“Kami mempunyai tanah di sana. Dan sampai sekarang masih ada kedatukan itu,” kata lelaki yang saat ini menjadi warga tetap Singapura itu saat berbincang santai belum lama ini.

“Kami pemilik tanah di Sumatera Timur di Kesultanan Deli. Tanahnya di Kota Medan. Seluruh (Kawasan bandara) Polonia itu milik kami. Itu sudah sah milik kami. Proses sudah 30 tahun, baru diakui dari pemerintah,” lanjutnya.

Belajar toleran dengan perbadaan suku, ras, agama dan golongan dia dapat dari sekolah Katolik. Bahkan dia sejak taman kanak-kanak ada di lingkungan Katolik. Bahkan sang ayah, Datuk Ahmad Syaifuddin merupakan hasil dari pendidikan Sekolah Katolik.

Sifat toleransi dia jalankan sampai saat ini. Bahkan pengusaha sebuah perusahaan investasi itu mempunyai berbagaimacam cerita unik. Teman-temannya di alumnus De Britto pernah mengadakan misa sebagai ‘selametan’ Datuk yang ingin naik haji. Bahkan Datuk sebagai tempat curhat teman-temannya yang menikah beda agama.

Cerita seru dan ‘tak habis pikir’ Mas Datuk ceritakan. Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Datuk:

Sebagai sosok keturunan raja yang memegang prinsip Keislaman, bagaimana awal Anda bersekolah di sekolah Katolik?

Ayah saya, dari Kesultanan Deli di Medan. Bisa dibayangkan fanatiknya agama Islam di keluarga saya. Saya keturunan raja di Kesultanan Deli. Kebetulan bapak saya sangat modern dan dia didikan Belanda yang kecil sudah sekolah di sekolah Katolik. Begitu revolusi, beliau pindah ke Yogyakarta. Beliau teruskan sekolahnya di De Britto setahun terakhir (SMA). Beliau siswa De Britto angkatan pertama di Yogya.

Dari situ, tidak ada masalah bagi saya di sekolah Katolik, sejarahnya sudah ada. Pada zaman itu, sekolah yang paling bagus adalah sekolah Katolik. Jadi kakek saya menyekolahkan anak-anaknya semua di sekolah katolik.

Apakah ada pertentangan saat itu di keluarga besar?

Saya tidak tahu persis bagaimana keadaan di Kesultanan Deli saat itu. Tapi dilihat dari kakek saya, kakek saya seorang pejuang sangat moderat.

Di Medan ada 4 Kedatukan. Salah satunya itu, kakek saya. Kedatukan itu ada yang berpihak ke Belanda dan ada yang status quo atau tidak berpihak ke mana pun. Kakek saya jelas, memihak ke republik. Setelah revolusi, ayah saya tidak boleh ke Belanda karena tidak diberikan visa dan sebagainya. Satu-satunya dari keturunan kakek saya semua sekolah di Yogyakarta. Keluarga saya itu moderat. Ini saya turunkan ke anak-anak saya.

Bagaimana kehidupan Anda di sekolah yang hampir semua siswanya Katolik?

Saling memperhatikan. Misal, pas Magrib dan Isya, mereka dengan senang hati mempersiapkan tempat salat untuk saya. Meja-meja dijejerkan dan diberikan koran sebagai alasnya. Itu terbentuk sendiri tanpa disuruh. Sekolah cara mendidik anak-anak itu mengedepankan toleransi dan saling menyayangi. Itu yang betul-betul sangat berbekas sampai saat ini, ke anak-anak tamatan.

Saat itu belum ada isu tolerisme di Indonesia. Apa yang melatarbelakangi sikap toleransi itu?

Kita dari segala tipe, sangat dididik oleh pastor-pastor bagaimana harus bergaul? Menghormati orang lain. Misalnya, kalau kami bercanda. Kalau panggil becandaan antara Cina dan Jawa itu enteng sekali. Tinggal panggil, “eh kamu Cina”. Begitu sebaliknya, “kamu Jawa miskin banget sih”.

Jadi itu begitu dekatnya kami. Tidak ada masalah ras dan masalah agama. Kami sangat dekat sekali. Makanya orang-orang suka aneh, ini sekolah unik sekali. Karena sangat cair sekali.

Apakah sikap toleransi itu karena kebanyakan siswa dari kalangan mampu dari sisi ekonomi. Sehingga sudah selesai dari urusan beban hidup?

Kami itu sejak muda, sudah terbentuk seperti itu. Yang miskin juga tidak mider. Jadi rasa pede juga luar biasa. Mau miskin atau kaya itu nggak ada masalah. Jadi persahabatan kami itu suatu hal yang sakral. Melebihi segalanya. Seperti keluarga kedua bagi kami.

Saat ini anggapan kristenisasi jika seorang muslim bersekolah di sekolah Katolik masih ada. Bagaimana cara orangtua Anda untuk menepis anggapan itu dahulu?

Di zaman saya tidak ada pendidikan agama Islam di sekolah itu. Semua belajar Katolik. Saya ikut belajar Katolik, bahkan saya paham biebel dengan baik. Tapi saya ikut pengajian seperti biasa di rumah dengan orangtua.

Bagaimana cara keluarga Anda ‘menjaga’ Anda agar taat dengan ajaran Islam?

Ayah saya, beliau itu memberikan penekanan, yang saya pelajari di sekolah itu sebuah pengajaran, bukan sebuah iman. Kalau iman dipelajari di rumah. Misalnya saat saya remaja, saya senang dengan suatu simbol-simbol. Waktu itu dari sekolah saya dapat simbol salib. Saya pakai salib itu di baju. Tapi di rumah, ayah menegur. Kata dia, saya sekolah di sekolah Katolik, tapi saya bukan orang Katolik. Simbol yang saya pakai itu simbol katolik, jadi nggak boleh dipermainkan. Itu kurang menghormati.

Itu langsung saya terima, karena saya sangat berpikiran terbuka. Iman saya dan batin saya tidak terganggu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI