Rencana buruh melakukan Mogok Nasional sebagai salah satu upaya mendesak Presiden mencabut Peraturan Pemerintah Nomo 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (selanjutnya disebut PP Pengupahan). Mogok Nasional yang dijadwalkan oleh elemen buruh pada tanggal 24-27 November 2015 direspon oleh berbagai unsur antara lain dari unsur Pemerintah, asosiasi pengusaha dan Kepolisian, di mana respon-respon tersebut dinilai sebagai upaya pelemahan gerakan buruh mencabut PP Pengupahan dan penghalang-halangan aktifitas berserikat.
Salah satu unsur pemerintah yang melakukan upaya tersebut adalah Bupati Bekasi, dalam Surat Edaran Nomor : 560/SE-59/DISNAKER/XI/2015 tertanggal 20 November 2015 menyikapi terkait isu rencana mogok nasional 24-27 November 2015. Lebih lanjut dalam surat tersebut menyatakan bahwa berkaitan dengan mogok nasional tidak sesuai dengan ketentuan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, maka upah selama mogok nasional dan atau unjuk rasa secara nasional tidak dibayar.
Perihal Surat Edaran tersebut, Pratiwi Febry Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta dan bagian dari Tim Advokasi untuk Buruh dan Rakyat (TABUR) Tolak PP Pengupahan mengungkapkan bahwa buruh dan rakyat Indonesia dalam melaksanakan mogok nasional dan unjuk rasa itu telah dijamin dalam UUD 1945, UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 21/2000 tentang SP/SB, Konvensi Ekonomi Sosial dan budaya diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, Konvensi ILO 87.
"Karena Unjuk rasa dan mogok nasional telah dijamin dalam konstitusi dan UU, maka seluruh elemen buruh yang berada di wilayah Kabupaten Bekasi untuk mengacuhkan saja Surat Edaran yang bukan merupakan produk hukum itu," kata Pratiwi dalam siaran pers yang diterima Suara.com, Minggu (22/11/2015).
Lebih lanjut Pratiwi biasa ia disapa menghimbau kepada seluruh pengusaha melalui Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) untuk tidak menghalangi-halangi hak buruh untuk melakukan mogok nasional dan unjuk rasa. Apabila ada pihak yang menghalangi dan menghambat pelaksanaan unjuk rasa dan mogok nasional dalam rangka menjalankan aktifitas/kegiatan serikat pekerja/serikat buruh yang mengancam kebebasan dan kemerdekaan berserikat, maka hal tersebut merupakan tindak pidana kejahatan yang diatur dalam Pasal 4 ayat 2 huruf e Jo. Pasal 28 UU Nomor 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, tambahnya. Apabila melanggar pasal-pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, tegasnya.