Suara.com - Radio Surabaya mengumumkan kematian Mallaby dan kemenangan pejuang kemerdekaan, tapi Jenderal Christison, sama sekali tak bisa menerima hal itu.
Pada 31 Oktober, Panglima Sekutu itu menyerukan agar mereka yang tersangkut pembunuhan Mallaby menyerahkan diri. Ia pun menyatakan akan mengerahkan kekuatan darat, laut, udara dan persenjataan modern yang ada padanya untuk menegakkan hukum dan ketertiban.
"Bilamana dalam tindakan ini terjadi korban jiwa atau luka-luka, maka tanggung-jawabnya terpulang pada orang-orang Indonesia yang terlibat kejahatan yang telah disebutkannya itu. Christison menegaskan, kekerasan akan dihadapi dengan kekerasan," kata Roesdhy Hoesein, sejarawan dari UI.
Sudah nyata Inggris akan menuntut balas. Lagi pula ada 12.000 interniran, kebanyakan perempuan dan anak-anak, masih tertahan di kota. Sementara 20.000 tentara dan laskar Indonesia masih "intact". Belum lagi 120.000 rakyat dan pemudanya yang bersenjatakan tombak dan parang.
Dalam tiga hari, kekuatan Inggris di Surabaya dijadikan satu divisi lengkap. Divisi India ke-5 itu didukung unsur angkatan laut dan udara.
Sebuah kapal penjelajah "Sussex", tiga destroyer, yakni "Caesar", "Carron" dan "Cavalier", serta kapal bendera "Bulolo" bersiaga di perairan Tanjung Perak. Juga, didatangkan delapan pembom Thunderbolts dan dua penyergap Mosquitoes.
Panglima divisi tersebut, Mayjen Mansergh, yang juga adalah Panglima AD Sekutu di Jawa Timur menyalahkan para pemimpin Indonesia atas kerusuhan yang merenggut banyak nyawa itu.
Dengan dalih Surabaya telah diduduki oleh perampok dan bahwa pihak Indonesia menghambat misi Sekutu, maka tentara Inggris akan memasuki Kota Surabaya dan daerah sekitarnya untuk melucuti "gerombolan yang tidak mengenal tertib hukum".
Gubernur Jawa Timur (Jatim), Suryo, memperingatkan Mansergh, agar tentaranya jangan mencoba masuk ke kota, karena akan berdampak buruk bagi ketentraman dan ketertiban. Tapi peringatan Gubernur Jatim itu dijawab Mansergh dengan pamflet ultimatum yang disebar dari udara.
Intinya, semua pemimpin Indonesia, termasuk pemimpin pemuda, kepala polisi dan pimpinan Radio Surabaya harus melaporkan diri di Batavia-weg mulai jam 18.00 tanggal 9 November. Mereka harus membawa senjata yang dimiliki dan meletakkannya pada jarak 100 yard dari tempat pertemuan.
Selain itu, mereka harus mendekat dengan kedua tangan di atas kepala, lalu semua akan ditangkap dan ditawan. Mereka harus menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.
Gubernur Suryo, melalui radio pukul 23.00, menolak dengan tegas ultimatum itu. Tidak satu pun pejuang yang muncul untuk memenuhi perintah Mansergh.
Pukul 06.00, 10 November 1945. Ketika batas waktu habis, divisi tempur Inggris memasuki Kota Surabaya yang serta merta disambut perlawanan sengit dari TKR dan pejuang RI yang bersenjata senapan mesin, mortir, tank dan meriam artileri.
Thunderbolts dan Mosquitos Inggris melakukan strafing ke sasaran gedung-gedung yang dijadikan kubu pertahanan Indonesia. Inggris menguasai Surabaya setelah pertempuran sengit "dari pintu ke pintu dan lorong ke lorong".
Pasukan Indonesia mengundurkan diri dan membangun pusat-pusat perlawanan di luar kota. Peristiwa 10 November di Surabaya ini kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, karena menginspirasi perlawanan di daerah lain hingga ada KMB di Den Haag (1949) yang mengakui kedaulatan Indonesia.
Momentum Dalam diskusi yang cukup "gayeng" di LKBN Antara Biro Jawa Timur itu, Arek-Arek Suroboyo dari kalangan akademisi, pers, seniman, santri, pelaku sejarah, dan sebagainya mengapresiasi diskusi kepahlawan Perum LKBN Antara di Surabaya.
"Ini diskusi yang sangat memprovokasi kita, karena itu LKBN Antara mempunyai tanggung jawab untuk mengawal Peristiwa 10 November menjadi sejarah sesungguhnya, bukan hanya dongeng," ujar seniman Sabrot D Malioboro.
Untuk itu, ia berharap LKBN Antara membukukan peristiwa bersejarah itu dari bukti-bukti yang didapat dari berbagai sumber, termasuk kliping media massa pada masa itu.
"Misalnya, terbunuhnya Jenderal Mallaby itu ada banyak versi, ada yang ditembak, ada yang dicekik, ada yang dibuang ke kali, dan sebagainya. Nah, Antara harus menelusuri bukti-bukti yang akurat agar hal itu tidak hanya menjadi dongeng," katanya.
Dukungan juga datang dari Ismet asal Batak yang juga mengaku sebagai "Arek Suroboyo". "Peristiwa 10 November 1945 itu merupakan peristiwa bonek atau bondo nekat untuk perjuangan menegakkan kemerdekaan," katanya.
Dalam konteks itu, ia menilai LKBN Antara melalui wartawannya bernama Wiwiek Hidajat memiliki peran yang sangat penting dalam peristiwa bersejarah itu. "Pak Wiwiek terlibat dalam melakukan provokasi kepada masyarakat untuk melawan Sekutu," katanya.
Menurut dia, provokasi itu tidak hanya dilakukan Wiwiek dengan memompa semangat masyarakat, namun juga menyebarkan pamflet-pamflet hingga menyemangati masyarakat untuk menjebol LP Kalisosok. "Penyebaran pamflet itu peran wartawan," katanya.
Harapan lebih menantang datang dari Kepala Jurusan Sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unsesa) Sumarno. Ia mengharapkan LKBN Antara untuk memperluas peran kesejarahan hingga peran kekinian.
"Misalnya, LKBN Antara bisa mendorong pemerintah untuk mewajibkan pakaian pejuang pada setiap 9-10 November bukan hanya bagi pelajar, tapi seluruh masyarakat, baik di kantor, kampus, perusahaan, maupun perkampungan," katanya.
Selain itu, LKBN Antara juga harus "memprovokasi" pemerintah untuk menggelar "Surabaya Festival Heroik", serta mewajibkan seluruh toko dan kantor memasang simbol kepahlawanan seperti foto Bung Tomo berpidato atau pejuang lainnya pada setiap November.
"LKBN Antara juga harus 'memprovokasi' masyarakat untuk memasang bendera di seluruh kampung seperti halnya HUT Kemerdekaan. LKBN Antara juga harus mengusulkan Doel Arnowo, Mayjen Sungkono, dan Arek Suroboyo lainnya untuk menjadi Pahlawan Nasional," katanya.
Agaknya, peringatan Hari Pahlawan di Kota Pahlawan Surabaya mulai tahun 2015 itu harus dapat menjadi momentum untuk melakukan serangkaian diskusi dan penelitian sejarah untuk akhirnya "mengemas" bukti sejarah itu dengan cara-cara kekinian guna menumbuhkan nilai-nilai kejuangan bagi generasi masa kini.
Misalnya, penulis buku "Benteng-Benteng Surabaya" Ady Setyawan menyebut Surabaya memiliki 11 benteng pertahanan pantai buatan Belanda dan salah satunya yang masih utuh adalah Benteng Kedungcowek (KC). Benteng KC ini bisa direkayasa ulang menjadi wisata sejarah untuk membangkitkan heroisme, sekaligus melestarikan "jejak" sejarah seperti Singapura dan Perancis (Benteng Normandi).
"Generasi muda itu hanya mendengar dan baca dan tak sepenuhnya memahami dan merealisasikan pada zaman kekinian, karena itu Antara melawan lupa dengan mempersembahkan kepada masyarakat, tidak hanya berita kekinian tapi foto dan film masa lalu," kata Direktur Utama Perum LKBN Antara H Saiful Hadi dalam diskusi itu. (Antara)
Mengungkap Sisi Lain Peristiwa 10 November 1945 (4)
Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 23 November 2015 | 07:56 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Penulisan Sejarah Indonesia Masih Terlalu Maskulin, Pahlawan Perempuan Dinilai Masih Terpinggirkan
13 November 2024 | 20:16 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI
News | 00:15 WIB
News | 23:29 WIB
News | 22:13 WIB
News | 21:17 WIB
News | 20:15 WIB