Suara.com - Para pemuda Surabaya mereaksi leaflet Hawthorn dengan meringkus serdadu-serdadu Inggris yang menduduki Nyamplungan dan Bubutan. Sejumlah prajurit Inggris dan India yang sedang pesiar di kota juga diculik dan dibunuh.
Sebaliknya, 28 Oktober, Inggris melakukan perampasan senjata dan mobil-mobil pemuda. Pada 28 Oktober sore harinya, pimpinan TKR memutuskan untuk melakukan serangan umum terhadap semua posisi Inggris di Surabaya.
Stasiun radio di Simpang berulang-ulang mengumandangkan panggilan pada rakyat untuk mengangkat senjata dan menyerang secara serentak kedudukan pasukan Inggris. Sore dan malam hari itu juga pecah pertempuran sporadis di berbagai tempat di kota.
Akhirnya, pertempuran besar meletus pada pagi 29 Oktober. Serangan fajar TKR dibuka pukul 05.00 WIB. Tembakan pistol, senapan, senapan mesin berat dan ringan sampai mortir saling bersahutan. Asap membumbung di atas Kota Surabaya. Para tawanan perang dan kaum interniran kembali ciut hatinya.
Pasukan Inggris terjepit, bahkan seluruh prajurit Brigade 49 terancam musnah. Kesalahan mereka adalah menganggap enteng perlawanan rakyat dan TKR, lalu menghadapinya dengan satuan-satuan kecil yang terpecah-pecah di berbagai tempat. Perbekalan peluru juga hanya untuk pertempuran garis pertama.
Namun, begitu terdesak, mereka pun sulit mendatangkan bala bantuan, karena pasukan besar Inggris lainnya paling dekat berjarak 200 mil, yakni brigade yang berada di Semarang. Amunisi dan logistik tambahan yang didrop dari udara malah jatuh ke pihak RI.
Salah satu pertempuran dramatis berlangsung selama lima jam di Jembatan Wonokromo, sebelum akhirnya pasukan Inggris kehabisan peluru. Dua peleton yang kebanyakan orang India terisolasi dan terkepung di situ. Mereka nyaris dihabisi oleh massa rakyat yang tidak tahu hukum perang.
"Sejumlah serdadu India berteriak-teriak 'Muslim, muslim..!', memohon jangan dibunuh. Personel TKR sekuat tenaga mencegah pembantaian tersebut. Sisa-sisa pasukan Inggris-India itu dilarikan ke Tanjung Perak dengan truk TKR yang mengibarkan bendera putih," kata Roesdhy Hoesein.
Kekalahan di Wonokromo ini membuat kekuatan Inggris terpotong dua. Satu kekuatan bertahan di kota dan lainnya di sekeliling markasnya di Tanjung Perak. Kalimas yang membelah kota menjadi saksi keganasan perang ini. Di sungai yang keruh itu mengambang mayat-mayat tentara asing tersebut.
Menurut sumber Inggris, korban di pihak mereka 200 orang tewas atau hilang, dan 80 luka-luka. Yang memilukan adalah nasib ratusan interniran yang terdiri dari perempuan dan anak-anak. Konvoi truk yang mengangkut mereka dari kamp Darmo terjebak di daerah pertempuran, dan menjadi sasaran amukan laskar rakyat.
Panglima Tentara Sekutu di Indonesia (AFNEI - Allied Forces Netherlands East Indies), Letjen Sir Philip Christison, berusaha menyelamatkan pasukannya di Surabaya dengan meminta pemimpin RI di Jakarta turun tangan.
Atas permintaan Christison, 29 Oktober petang, Presiden Soekarno pun terbang ke Surabaya, didampingi Wakil Presiden Hatta dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin.
Pagi 30 Oktober, Bung Karno bersama Mayjen Hawthorn dan Brigadir Mallaby mengadakan perundingan damai dengan para pemimpin pejuang di Kantor Gubernuran Surabaya.
Mallaby Tewas Dalam buku biografi Himawan Soetanto berjudul "Menjadi TNI" itu, kehancuran total brigade Inggris tertolong oleh gencatan senjata yang disepakati Presiden Soekarno dan Mayjen Hawthorn, 30 Oktober siang.
Pelajaran keras itu memaksa Inggris mengakui status TKR dan membatalkan perintah penyerahan senjata laskar dan pemuda. Inggris harus menarik semua pasukannya untuk hanya dipusatkan di Tanjung Perak, lapangan terbang dan kamp tawanan jalan Darmo.
Tapi, "truce" itu tidak berjalan mulus, karena para pemuda pejuang menerimanya dengan pemahaman yang berbeda. Kesalahpahaman ini menyebabkan insiden di Jembatan Merah yang menewaskan Brigadir Mallaby dan membawa akibat pada tindakan balasan Inggris.
Mallaby ditembak pada saat bersama anggota-anggota Contact Committee dari Indonesia akan menangani masalah di Gedung Internatio (Internationale Crediten Handel Vereeniging).
Dalam gedung itu bertahan satu kompi dari batalyon India, sementara di luar, ratusan pejuang Indonesia mengepung dan menyerukan komandan kompi tersebut, Mayor Venugopal, dan seluruh anak-buahnya keluar untuk menyerah.
Pemuda-pemuda nampaknya menafsirkan gencatan senjata bahwa pasukan Inggris, yang memang sudah tersudut, harus mengaku kalah dengan cara meletakkan senjata. Tapi tentara pemenang Perang Dunia ini tidak sudi menyerah, apalagi kepada rakyat biasa.
Di ujung jembatan yang tepat di muka Gedung Internatio, Mallaby keluar dari mobilnya dengan memegang bendera putih. Ia tidak diperbolehkan lewat untuk menemui pasukannya di dalam gedung itu.
Massa hanya membolehkan anggota Kontak Biro dari Indonesia, Mayjen TKR Mohammad Mangoendiprodjo, dan perwira Inggris yang lebih yunior, Captain H. Shaw, untuk menemui pasukannya.
"Tidak jelas siapa yang memulai membuka tembakan. Tapi Mayor Venugopal memerintahkan untuk menembak. Segera saja pecah baku tembak yang gegap gempita," katanya.
Pasukan Inggris melontarkan sejumlah granat untuk menghalau massa yang mengepung Mallaby. Diperkirakan 150 orang tewas akibat ledakan granat itu. Massa menyingkir. Sementara Mallaby bersama dua kapten dan seorang letnan tiarap di dalam mobil.
Setelah baku tembak mereda, Mallaby mendongakkan kepalanya untuk melihat situasi. Beberapa pemuda mendekati dan melepaskan tembakan-tembakan ke arahnya. Perwira itu tewas seketika, sedangkan ketiga perwira yang luka-luka, menyelamatkan diri dengan terjun ke sungai.
Pernyataan resmi dari pihak Indonesia mengatakan Mallaby mati akibat ledakan granat di dalam mobilnya sendiri, sedangkan pihak penyidik Inggris yang memeriksa di tempat kejadian mendapatkan mobilnya masih utuh, tidak ada tanda-tanda bekas ledakan.
Mallaby tewas hanya lima jam setelah perundingan damai di Kantor Gubernuran yang dihadirinya. Drama Jembatan Merah itu berakhir setelah Venugopal bersedia menyerah kepada TKR. Namun Mayjen Mohamad yang sempat dijadikan sandera baru dilepas satu jam setelah seluruh tentara Inggris meninggalkan gedung Internatio. (Antara)
Mengungkap Sisi Lain Peristiwa 10 November 1945 (3)
Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 23 November 2015 | 07:43 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Penulisan Sejarah Indonesia Masih Terlalu Maskulin, Pahlawan Perempuan Dinilai Masih Terpinggirkan
13 November 2024 | 20:16 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI
News | 00:15 WIB
News | 23:29 WIB
News | 22:13 WIB
News | 21:17 WIB
News | 20:15 WIB