Suara.com - Suara bising mesin kelotok, perahu sepanjang empat meter, yang kami tumpangi memecah keheningan hutan Desa Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah.
Suara.com ditemani tiga warga Dayak Ngaju dan seorang aktivis lingkungan dari Petak Danum menyusuri kanal anak sungai Kapuas selebar lebih dua meter yang membelah hutan Mantangai.
Hari masih pagi saat perjalanan dilakukan pada awal Oktober 2015 lalu. Kabut asap dan udara yang membuat sesak mengiringi perjalanan kami.
Sejak tiba di Mantangai, asap memang sudah menggantung saban waktu. Pagi, siang dan malam, asap meyebar ke segala penjuru arah di Kampung Mantangai Hulu.
Beberapa kali kepala mesti merunduk menghindari dahan pohon yang melintangi kanal dan melindungi wajah dari cipratan air sungai bercampur gambut berwarna merah kecokelatan.
Baru 40 menit perjalanan, lebatnya pepohonan mulai berganti lengang. Di ujung lorong sungai, tampak cahaya lebih terang.
Semakin mendekat ke ujung, sungai mulai melebar dan warna air menjadi merah kehitaman. Bau asap semakin menyengat dan muncul pemandangan gundul di sepanjang pinggir kanal.
Di sebelah kanan dan kiri kanal lahan gambut setinggi satu meter, terlihat bekas bakaran gambut berwarna putih abu dan hitam gosong.
Kami menyempatkan menepi dan penasaran melongok apa yang tersisa di atas lahan kosong itu. Ternyata sejauh mata memandang, hanya ada tanaman sawit muda tertanam berbaris rapi.
Di seberang kanal, terlihat dua alat berat terpakir di atas lahan kebun sawit tanpa menemukan satupun petugas perkebunan.
“Ini kebun sawit milik PT Kalimantan Lestari Mandiri (KLM), dulu warga pernah tanami karet jelutung, tapi sekarang berubah jadi sawit, warga tak bisa lagi berladang di sini. Pemerintah sudah kasih ke PT,” kata Noorhadie Karben, warga Dayak Ngaju, bekas Sekdes Mantangai Hulu.
Kebun sawit PT KLM berdiri di atas lahan bekas proyek sejuta hektar Pengembangan Lahan Gambut (PLG), Kalimantan Tengah.
Proyek ambisius pemerintahan Soeharto ini dimulai pada 1996 dengan maksud ketahanan pangan dan menyebar transmigran dari Jawa.
Kala itu, jutaan pohon dibabat habis, termasuk hutan lindung yang tegak berdiri di kawasan kubah gambut Kapuas sedalam lebih dari 8 meter.
Belakangan proyek mangkrak setelah Soeharto lengser dan menyisakan kerusakan lahan gambut terbuka di tiga kabupaten dan satu kota, termasuk Kuala Kapuas.
Rehabilitasi setengah hati berganti sawit
18 tahun kemudian, di lahan eks PLG tempat kami berdiri sekarang, terhampar kebun sawit milik PT KLM yang beroperasi pada 2014 lalu.
“Sawit ini paling baru berumur dua bulan, beberapa bulan lalu kami mampir ke sini belum ada. Masih kosong,” terang Noorhadie.
Di lahan inilah, kata Noorhadie, dulu warga mencari penghidupan. Mencari madu, berburu, berladang karet dan mencari ikan yang terjebak di kanal. Semua berubah sejak hutan berubah gundul.
Noorhadie bercerita, di perkebunan sawit ini dulu pernah dua kali dilakukan program rehabilitasi lahan gambut dan penghutanan kembali, alias reforestasi.
Kedua program rehabilitasi tersebut didanai asing yang melibatkan gabungan sejumlah pegiat LSM, akademisi dan sebagian warga.
Program pertama lewat Central Kalimantan Peatland Project (CKPP) yang didanai duit dari Belanda sebesar 30 juta dolar AS dalam rentang waktu pengerjaan rehabilitasi selama tiga tahun, sejak 2006 sampai 2008.
Sedangkan program rehabilitasi kedua didanai fulus Pemerintah Australia senilai 100 juta dolar Australia dengan rentang waktu lima tahun, sejak 2009 hingga 2014. Proyek ini menjadi bagian proyek percontohan REDD Plus melalui The Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP).
Proyek KFCP meliputi luasan 120 ribu hektar lahan gambut yang ditanami karet atau tanaman prorduksi serta tanaman hutan.
Hasilnya? Nihil.
Sepanjang kami menyusuri kanal hingga mendekati perbatasan hutan lindung dan lahan gambut, yang disebut blok A dan E oleh warga setempat, yang terlihat hanya kebun sawit dan lahan gambut yang terbakar.
“Semua bibit karet yang dibawa dari orang-orang KFCP dari Palangkaraya banyak yang mati, stres menempuh perjalanan 236 kilo sampai lahan. Jenis karet itu juga tak bisa hidup di gambut. Sisanya yang ditanami kini ludes terbakar,” katanya.
Kami empat kali menepi di sepanjangan kanal. Setiap kali hendak melihat lahan yang pernah direhabilitasi, pemandangannya tak berubah.
Hanya sawit atau lahan gambut yang berasap dan sisa karet yang pernah ditanam ludes tak tersisa. Paling beruntung, sebagian batang karet yang pernah ditanam warga sudah gosong.
Untuk menembus jarak 100 meter dari pinggiran sungai ke lahan, kaki sering terjeblos hingga kedalaman setengah meter di bekas bakaran lahan gambut.
“Dulu mereka mengatakan ‘kalau bapak-bapak menanam pohon, lihat nanti 10 tahun ke depan tidak perlu ke luar kampung dan menyadap karet’ gimana mau disadap? Orang pohon karetnya yang ditanam saja semua terbakar, ditambah lagi ada kebun sawit,” sesal Noorhadie
Dari dokumen yang diperoleh suara.com, PT KLM rupanya mendapat izin perkebunan sawit hingga 5.101 hektar dari Pemerintah Kabutaen Kuala Kapuas.
Anehnya, izin itu baru sebatas arahan lokasi yang diterbitkan pada 25 Maret 2014, persis setelah progam rehabilitasi dari KFCP berakhir.
Dari penelusuran, juga didapati kalau PT KLM adalah bagian dari Julong Group yang berbasis di Tianjin, Cina, dan masuk kategori PBS, alias perusahaan besar swasta yang berinvestasi di Kapuas.
Laman www.julongchina.com, melansir kalau raksasa Julong Group total mengelola total 140 ribu hektar perkebunan sawit di Kalimantan.
Patok hutan lindung di tengah kebun sawit
Apa yang terjadi di Mantangai Hulu, hampir serupa tejadi pula di kawasan yang berbatasan dengan Mantangai.
Aktivis Yayasan Petak Danum, Ikhwan, mengajak suara.com memasuki kawasan perkebunan sawit PT Globalindo Agung Lestari (GAL) yang memang menjadi akses satu-satunya jalan darat dari Kota Kapuas ke Mangtangai.
Kami menembus perkebunan ini dengan kendaraan roda empat. Sepanjang 1 jam perjalanan dengan kecepatan sekitar 30 sampai 40 kilometer perjam, pemandangan yang mencolok mata hanya pohon sawit berselimut debu kekuningan.
Kami berdua sempat dihentikan oleh petugas perkebunan PT GAL yang menggunakan mobil ranger putih karena mengambil gambar kawasan perkebunan. Mereka melarang mengambil gambar di semua lokasi perkebunan.
“Di sini juga masuk kawasan eks PLG, lihat saja gambutnya tebal,” kata Ikhwan.
Ikhwan tak salah, sejak kami menyusur memasuki kawasan perkebunan, tampak kanal besar membelah perkebunan.
Kanal selebar sekitar 10 meter dan sedalam 3 meter itu kering. Airnya habis dihisap ribuan sawit yang siap panen. Yang tersisa di kanal, hanya tanah gambut berwarna merah kehitaman.
Bedanya polah dengah PT. KLM, PT. GAL, dari dokumen yang kami peroleh di RSPO.org, perkebunan ini sudah beroperasi sejak 2008 dengan pengusaaan lahan hingga 24 ribu hektar di Kapuas Murung.
GAL disebut-sebut milik perusahaan besar Genting Plantation yang bermarkas di Malaysia. Nama Genting merujuk pada sebuah lokasi perjudian di negeri jiran.
Sekilas memang ada yang tak aneh dengan perkebunan ini. Dalam laman itu GAL juga mengklaim memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) berdasarkan SK Pemda Kapuas No:291/Disbunhut/2012.
Tapi bukan itu yang membuatnya aneh.
Suara.com mendapatkan gambar dari Yayasan Petak Danum yang menunjukkan kalau di tengah perkebunan sawit eks PLG ini terdapat patok kawasan hutan lindung dengan angka 98.
Patok itu terletak di Desa Tambak Bajai yang masuk dalam konsesi lahan PT. GAL.
Perkebunan ini juga sempat menjadi salah satu, dari 13 perkebunan, yang dihentikan operasinya oleh Pemkab Kapuas.
Alasannya, aktivitas di sebagaian lahan izinnya dianggap belum clear and clean oleh Pemda Kabupaten Kapuas sesuai dengan nomor 525.26/460/Disbunhut/2013 yang ditandatangani Bupati.
Isi surat tersebut memerintahkan untuk menghentikan semua kegiatan perusahaan yang belum memiliki perizinan. Di dalam surat itu tertera juga kalau kegiatan yang mesti dihentikan meliputi lahan seluas 20 ribu hektar di Kecamatan Dadahup dan Mantangai.
Faktanya dilapangan, kami menemui puluhan truk pengangkut sawit lalu lalang saban 20 menit sekali ke arah Kapuas. Sebagian ada yang terpakir sedang bongkar muat buah sawit.
Pemda Kapuas loyo
Dikonfirmasi soal penghentian izin ini, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Simpun Jaya yang ditemani seorang staff ahli di kantornya memastikan kalau memang tak mencabut izin GAL, meski memang ada surat penghentian operasi.
“Tidak ada pencabuatan izin untuk PT GAL,” kata Gerek kepada saat berbincang di ruangan kepala dinas, awal Oktober lalu.
Dia juga mengakui kalau Pemda tak punya kemampuan untuk mengawasi 24 jam, jika betul ada pelanggaran yang dilakukan perusahaan sawit terkait dengan penggunaan kawasan hutan lindung menjadi kebun sawit.
“Kami hanya berfungsi administratif saja menulis surat peringatan, mestinya polisi yang bertindak kalau ada pelanggaran,” lanjutnya.
Sementara soal PT. KLM yang menanam di lokasi lahan rehabilitasi eks PLG, kedua pejabat Pemda itu hanya menyebut kalau perkebunan itu berdiri di lahan Area Penggunaan Lain (APL) yang dikuasai Pemda.
“Itu kan APL, punya pemda jadi terserah bupati mau untuk apa digunakan,” katanya.
Alasan pemberian izin untuk PT. KLM sendiri disebut untuk meningkatkan perekonomian warga setempat dan pundi-pundi pemerintah daerah.
Tapi apa betul warga Mantangai Hulu membutuhkannya?
Noorhadie Karben malah berharap sebaliknya, dia memilih ada pengembalian fungsi hutan. Sebab katanya sejak kebun sawit mengepung kampungnya, kebakaran jadi kerap terjadi. Ditambah gagalnya dua proyek bermodal jumbo rehabilitasi lahan gambut dengan dana asing.
“Dari sisi kesehatan saja dulu, kalau terbantu, tidak mungkin kita merasakan asap seperti sekarang. Artinya kalau proyek rehabilitasi berjalan bagus, tentu tidak ada kebakaran dan masyarakat pasti merasakan manfaat,” tegas Noorhadie sambil menghempaskan dahan yang gagal digunakan untuk memadamkan api di lahan gambut.
Menjelang sore, kami kembali ke kampung. Lahan di belakang kami makin berasap, mendung palsu menyertai.
Sambil memegang tuas kemudi di belakang, Noorhadie hanya bengong memandangi bentangan lahan gambut yang kini disulap menjadi perkebunan sawit.