Suara.com - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tengah melakukan kunjungan kerja ke Meulaboh, Aceh Barat, 19-21 November 2015, namun selama berada di Bumi Rencong, politisi Partai Keadilan Sejahtera ini menolak memberikan komentar mengenai polemik yang melanda sejawatnya, Ketua DPR Setya Novanto.
"Jangan sayalah, saya tidak mau berkomentar lebih lanjut soal itu, saya tahu pasti wartawan kejar saya soal itu karena saya sendiri yang belum banyak berkomentar soal itu. Jangan saya," kata Fahri usai meninjau pembangunan Universitas Teuku Umar, Meulaboh.
Bahkan saat dimintai konfirmasi terkait berita yang disiarkan kantor berita asing, Jumat (20/11/2015), mengenai mundurnya Novanto dari kursi Ketua DPR dengan mengutip pernyataan dari politisi senior Partai Golkar Fahmi Idris, Fahri juga tetap menolak berkomentar.
"Tidak usah, saya tidak usah dimintai komentar soal itu," kata Fahmi seraya bergegas kembali memasuki mobil dinas yang bernomor polisi RI 56.
Kantor berita asing itu sempat memberitakan pernyataan Fahmi Idris yang menyebutkan bahwa Novanto telah mundur dari kursi Ketua DPR, namun masih tetap sebagai kader partai berlambang beringin.
Akan tetapi satu jam berselang, kantor berita asing tersebut menyiarkan berita lain yang memuat pernyataan ralat dari Fahmi Idris, yang kali ini mengatakan bahwa Novanto masih tetap menjabat Ketua DPR dan Golkar sebagai partai politisi itu bernaung tetap mendukung Novanto dalam polemik yang kini bergulir hingga ke Majelis Kehormatan Dewan tersebut.
Setiap dimintai komentar soal etis tidaknya tindakan Novanto yang diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam renegosiasi kontrak Freeport sebagaimana terbeber dalam rekaman yang diserahkan Staf Khusus Menteri ESDM, Said Didu, Fahri justru memilih mempertanyakan kapasitas orang-orang yang melakukan rekaman percakapan tersebut.
Fahri mengatakan secara hukum di Indonesia pihak yang memiliki hak untuk melakukan rekaman pembicaraan dan menyebarkan hasilnya tanpa meminta persetujuan orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan tersebut hanyalah penegak hukum semata seperti kepolisian, kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi. (Antara)